Raden Adjeng Kartini (1875-1904).
PERTANYAAN menusuk itu diajukan oleh perempuan Jawa berusia 25 tahun, tepat di tahun kehamilan pertama sekaligus kematiannya, kepada sahabatnya nun di Belanda, Rosa. Perempuan ini pembaca yang tekun, dan fasih berbicara dalam bahasa Belanda dan Prancis.
Ia tinggal bersama suaminya di Rembang, Jawa Tengah. Sebelum usia 20, sewaktu masih gadis dan tinggal di Jepara, ia sudah mengkhatamkan Multatuli dan Minnebrieven-nya Max Havelaar, lalu De Stille Krach-nya Louis Couperus, dan Die Waffen Nieder!-nya Berta von Suttner.
Belum cukup itu, ia juga memamah habis Orpheus in de dessa-nya Augusta de Witt, Moderne Maagden-nya Marcal Prevost, Hilda Van Suylenburg-nya C.G. de Jong, De Vrouwen en Socialisme-nya August Bebel, dan esai-esainya Frederik van Eeden.
Lalu dari mana novel kelas dunia akhir abad ke-20 dalam bahasa Belanda itu ia dapatkan? Dari abangnya yang menetap di Den Haag. Waktu itu abangnya, sarjana sastra timur Universitas Leiden, sudah terdaftar sebagai anggota dewan redaksi koran Bintang Timur yang terbit di Belanda.
Dari abangnya pulalah, ia bisa memasang iklan di De Hollandsche Lelie, majalah feminis Belanda yang ia menjadi pelanggannya. Ia memperkenalkan diri, mencari sosok perempuan sebaya untuk surat-menyurat. Iklan yang dijawab Stella, karyawati majalah itu yang kelak jadi sahabatnya.
Ia anak ke-5 Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (1845-1905). Ia datang dari keluarga bangsawan aristokrat. Kakeknya, Bupati Demak Pangeran Ario Tjondronegoro IV (1821-1905), fasih berbahasa Belanda dan Prancis. Keluarganya memiliki tradisi intelektual yang kuat.
Kakeknya pernah mendatangkan guru privat dari Belanda agar keluarganya bisa belajar bahasa Belanda dan Prancis. Karena itu, dua putranya yang kelak jadi bupati, fasih berbahasa Belanda dan Prancis. Ia sendiri disekolahkan sampai 12 tahun, prestasi luar biasa bagi perempuan Jawa waktu itu.
Kemudian, seperti perempuan Jawa umumnya, ia dipingit di rumah, dipersiapkan untuk menikah. Selama dipingit, ia tidak diizinkan meninggalkan rumah. Setelah menikah, wewenangnya beralih ke suaminya, Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadhiningrat. Ia dikawin sebagai istri ke-4.
“Ketika pemotong rumput berpenghasilan 10- 12 sen sehari harus membayar pajak. Setiap kambing disembelih kena pajak 20 sen. Pedagang sate yang memotong 2 kambing tiap hari harus membayar 40 sen. Apa yang tersisa untuk keuntungannya? Nyaris tidak cukup untuk hidup,” katanya.
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Pajak, dalam perspektif Raden Adjeng Kartini (1875-1904), adalah praktik pemerasan dari penguasa kepada rakyatnya. Ia menjadi saksi bagaimana uang pajak dipungut paksa bukan atas dasar kemampuan rakyat membayar, melainkan atas selera penguasa.
Dalam suratnya, Kartini banyak menulis pandangannya tentang kondisi sosial ekonomi yang berlaku pada zamannya, terutama nasib perempuan pribumi Indonesia. Sebagian besar suratnya memprotes kecenderungan budaya Jawa yang menghambat perkembangan perempuan.
Memang, kalau Kartini hanya bersurat, banyak perempuan lain yang sudah jauh melangkah. Sultanah Safiatuddin (1612-1675) di Aceh, yang menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu, telah melahirkan terjemahan karya Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.
Ada Siti Aisyah We Tenriolle. Ia Datu Kerajaan Tanette sekaligus penerjemah epos La-Galigo setebal lebih dari 7.000 halaman folio. Pada 1908, ia mendirikan sekolah pertama di Sulawesi Selatan yang modern dan terbuka untuk laki-laki dan perempuan, tanpa sedikitpun bantuan pemerintah.
Ada pula Dewi Sartika (1884-1947) di Bandung dan Rohana Kudus (1884-1972) di Padang. Dewi mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1910. Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia pada 1911 dan Rohana School pada 1916. Ia merupakan jurnalis perempuan pertama di Indonesia.
Namun, Kartini-lah yang dipilih Belanda. Pilihan yang diteruskan Pemerintah Indonesia. Lebih dari 6 tahun setelah ia wafat, Rosa merilis kumpulan surat Kartini. Lalu, Hilda de Booy-Boissevain, istri anggota parlemen Belanda, memprakarsai pengumpulan dana untuk mendirikan sekolah di Jawa.
Pada 1913, Yayasan Dana Kartini yang dipimpin C.Th. van Deventer, anggota parlemen Belanda, berdiri. Setahun sebelumnya, yayasan ini sudah membangun Sekolah Kartini di Semarang, disusul sekolah perempuan lain di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
“Pemerintah Hindia Belanda sangat peduli terhadap kesejahteraan masyarakat Jawa, tetapi sayang mereka membiarkan rakyat dibebani oleh pajak yang berat. Memang, pajak itu masih di bawah beban yang mereka tanggung, tetapi mereka hanya bisa bergerak perlahan,” katanya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.