NEGARA sebagai organisasi yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah mengemban peranan yang besar. Guna melaksanakan peranan yang diemban, negara menggunakan berbagai instrumen kebijakan salah satunya melalui sistem perpajakan.
Pajak memang acap kali diandalkan untuk mewujudkan dua fungsi besar, yaitu sebagai sumber penerimaan (budgetair) sekaligus sebagai pengatur (regulerend). Besarnya peran pajak membuatnya melingkupi banyak sektor dan terdiri atas berbagai konsep atau jenis.
Salah satu konsep pajak yang sudah banyak diterapkan adalah sin tax. Kendati demikian, kata ‘sin’ atau ‘dosa’ pada pajak ini membuatnya menarik untuk diulik. Apa pula yang dimaksud dengan ‘sin’ atau ‘dosa’ dalam konsep pajak ini?
Definisi
SECARA etimologi kata sin tax berasal dari kata ‘sin’ yang berarti dosa atau kesalahan dan ‘tax’ yang berarti pajak. Secara ringkas, sin tax berarti bentuk cukai yang dikenakan pada barang atau jasa yang dianggap berbahaya bagi masyarakat (Aditya & Wafi, 2019).
Dalam terminologi ekonomi modern sin tax merupakan pajak per unit yang dirancang terutama untuk mengurangi perilaku tertentu yang dianggap berbahaya bagi masyarakat.
Daftar ‘sin’ atau ‘dosa’ yang dikenakan pajak tersebut di antaranya rokok, minuman beralkohol, bensin, peluru, minuman ringan berpemanis dan camilan berlemak (Williams & Christ, 2009).
Merujuk IBFD International Tax Glossary (2015) sin tax merupakan istilah populer untuk pajak represif atas barang seperti alkohol dan/atau tembakau atau aktivitas seperti perjudian. Pajak semacam ini dirancang lebih untuk mencegah aktivitas tertentu daripada untuk meningkatkan pendapatan.
Sementara itu, berdasarkan Cambridge Dictionary, sin tax didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas hal-hal seperti rokok, alkohol, perjudian, dan hal-hal lain yang dianggap tidak perlu dan buruk bagi kesehatan fisik atau mental seseorang.
Selaras dengan itu, Javadinasab et all (2019) menyebut sin tax sebagai pajak yang dipungut atas komoditas seperti tembakau dan alkohol atau aktivitas dan layanan yang dianggap buruk dan berbahaya atau tidak bermoral untuk meningkatkan penerimaan dan mencegah konsumsinya.
Dalam konteks perpajakan, definisi 'dosa' dalam agama tidak membantu mendefinisikan ‘dosa’ dalam konsep pajak ini. Pasalnya, dalam agama dosa merupakan sesuatu yang jelas dilarang dan tidak sekadar ditoleransi lalu dikenakan pajak (Lorenzi:2004).
‘Dosa’ dalam konsep pajak ini adalah sesuatu yang membuat ketagihan, merusak diri sendiri, dan secara sosial tidak diinginkan. Hal ini berarti ‘dosa’ yang dimaksud merupakan sesuatu yang secara efektif menggambarkan perilaku yang ditargetkan tanpa harus menyeberang ke masalah agama.
Misalnya, mengendarai kendaraan yang menghabiskan banyak bahan bakar. Berkendara bukanlah suatu ‘dosa’, tetapi konsumsi bahan bakar berlebihan yang menjadi masalah.
Begitu pula dengan konsumsi anggur dalam konsep pajak ini dipandang sebagai 'dosa' karena merupakan aktivitas yang berbahaya jika dilakukan secara berlebihan atau dalam jangka panjang (Lorenzi, 2004).
Intinya, sin tax merupakan pajak yang dikenakan atas aktivitas yang dianggap tidak diinginkan secara sosial. Dalam banyak kasus, pajak ini diterapkan untuk mengurangi penggunaan alkohol dan tembakau, perjudian, dan kendaraan dengan polutan berlebihan (Hartocollis:2009).
Selain itu, dalam perkembangan terakhir sin tax juga telah diusulkan untuk dikenakan terhadap minuman ringan dan berpemanis. Beberapa yurisdiksi juga mengenakan sin tax atas recreational drugs seperti ganja (Dwyer, 2016).
Padanan Istilah
REGULASI perpajakan yang berlaku di Indonesia tidak menggunakan istilah ‘sin tax’. Namun, konsep sin tax tercermin pada penerapan cukai atas rokok dan alkohol yang diterapkan di Indonesia. Pasalnya, cukai secara filosofis memang merupakan salah satu bentuk dari penerapan sin tax.
Secara lebih terperinci, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 39/2007, cukai dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik sebagai berikut:
a. barang-barang yang konsumsinya harus dibatasi;
b. barang-barang yang distribusinya harus diawasi;
c. barang-barang yang konsumsinya berdampak pada rusaknya lingkungan hidup;
d. sebagai sarana untuk memenuhi rasa kebersamaan keadilan di masyarakat.
Adapun karakteristik pertama dan kedua atas barang kena cukai tersebut relevan dengan konsep sin tax. Namun, tidak berarti semua pengenaan cukai merupakan bentuk dari sin tax.
Sebab, cukai juga dapat dikenakan sebagai bentuk dari pajak eksternalitas atas suatu perilaku ekonomi yang bisa menyebab sisi negatif bagi kegiatan ekonomi lain (pigouvian tax) serta goods and services tax atas barang-barang mewah.
Simpulan
BERDASARKAN uraian di atas dapat ditarik definisi sin tax, yaitu istilah populer yang digunakan untuk pajak yang represif atas barang-barang atau perilaku yang dianggap berbahaya atau perilaku yang perlu dikendalikan seperti mengonsumsi alkohol/tembakau atau aktivitas seperti perjudian. (Bsi)