SETIAP tahun, Indonesia selalu memperingati Hari Kartini yang jatuh pada 21 April. Hari Kartini diperingati sebagai bentuk penghormatan kepada sosok Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat yang telah berjuang mendapatkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki.
Momentum Hari Kartini pun banyak digunakan untuk mendiskusikan kembali makna dan capaian kesetaraan gender. Isu kesetaraan gender memang kerap kali menjadi sorotan, termasuk dalam ranah perpajakan.
Dalam Presidensi G-20, kerangka yang mendasari kebijakan perpajakan berbasis gender bahkan menjadi salah satu isu prioritas yang diusulkan G-20. Gagasan utamanya adalah penerapan beban pajak yang tidak netral gender karena peran serta kebutuhan perempuan dan laki-laki berbeda.
Misal, pemberian insentif pajak kepada perempuan yang sedang cuti melahirkan karena adanya kemungkinan penurunan penghasilan. Hal ini di antaranya dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Lantas, apa itu perpajakan berbasis gender?
Definisi
KENDATI kerap menjadi pembahasan, belum terdapat pengertian perpajakan berbasis gender atau gender based taxation (GBT) secara universal. Namun, secara umum, perpajakan berbasis gender merupakan kebijakan pajak yang memberikan afirmasi kepada perempuan.
Perpajakan berbasis gender erat kaitannya dengan upaya untuk menghilangkan bias gender dalam sistem perpajakan yang merugikan perempuan (Estevão, 2021). Sistem pajak yang netral pun tetap berpotensi menimbulkan bias gender yang berujung pada ketidaksetaraan gender (OECD, 2022).
Bias Gender
TERDAPAT banyak literasi yang menunjukkan adanya bias gender dalam sistem perpajakan. Salah satunya literasi yang ditulis Janet G. Stotsky pada 1996. Dalam publikasinya, Stotsky menguraikan adanya bias gender eksplisit dan implisit pada sistem perpajakan.
Selaras dengan Stotsky, OECD dalam publikasinya bertajuk Tax Policy and Gender Equality : A Stocktake of Country Approaches dan sejumlah literatur juga menyoroti adanya bias gender eksplisit dan implisit pada sistem perpajakan.
Bias Gender Eksplisit
BIAS gender eksplisit merujuk pada ketentuan dari undang-undang atau peraturan perpajakan yang membedakan serta memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda (Stotsky, 1996). Bias gender eksplisit lebih banyak terkait dengan pajak penghasilan orang pribadi.
Bias gender tersebut dapat terjadi dalam aturan mengenai penggabungan penghasilan, pengecualian atau preferensi pajak untuk pasangan, kewajiban penyampaian SPT, serta tarif pajak (Stotsky, 1996 dan OECD, 2022).
Misal, terkait dengan fasilitas pajak untuk pasangan. Umumnya, negara memberikan pengecualian atau potongan untuk berbagai tujuan, termasuk atas tanggungan anak, pasangan yang tidak bekerja, dan lain sebagainya.
Di sejumlah negara, pengecualian atau preferensi pajak tertentu hanya tersedia untuk suami. Contoh, di Zimbabwe, pria menikah yang merupakan pencari nafkah tunggal berhak atas kredit khusus, tetapi wanita yang sudah menikah tidak memenuhi syarat tersebut (Stotsky, 1996).
Bias Gender Implisit
BERBEDA dengan bias gender eksplisit, bias gender implisit terjadi bahkan jika sistem pajak seolah-olah netral dan tidak membedakan secara eksplisit antara laki-laki dan perempuan (OECD, 2022). Bias ini muncul ketika sistem pajak yang netral gender menimbulkan dampak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan.
Hal ini berarti bias gender implisit merujuk pada adanya perbedaan tatanan sosial dan perilaku ekonomi antara perempuan dan laki-laki yang membuat ketentuan perpajakan cenderung memiliki implikasi berbeda bagi laki-laki daripada bagi perempuan.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut berkaitan dengan cara mereka memperoleh, membelanjakan, dan menginvestasikan penghasilan dan kekayaan. Adapun bias gender implisit dapat muncul pada berbagai jenis pajak (Estevão, et al., 2021).
Misal, terkait dengan PPh, perempuan lebih sering menjadi pencari nafkah kedua dalam rumah tangga. Sementara itu, sejumlah ketentuan pajak mengenakan tarif pajak marjinal efektif yang lebih tinggi pada penghasilan sekunder ketimbang penghasilan primer (Niesten dan Hyland, 2002 dan Stotsky, 1996).
Bias gender implisit juga terlihat dari adanya fasilitas pajak untuk biaya kerja yang tidak diganti yang sebagian besar ditanggung oleh laki-laki. Misal, biaya yang terkait dengan pembelian seragam atau peralatan.
Sementara itu, tidak ada fasilitas pajak untuk biaya kerja yang sebagian besar ditanggung perempuan. Misal, biaya pengasuhan anak atau biaya transportasi yang aman bagi pekerja yang pulang larut malam (Estevão, et al., 2021).
Bagi sebagian besar negara berkembang, porsi terbesar dari keseluruhan pendapatan pemerintah berasal dari pajak konsumsi seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Pajak konsumsi seperti PPN mungkin juga mengandung bias implisit.
PPN dapat menaikkan harga layanan, termasuk layanan pengasuhan anak. Hal ini dapat menimbulkan disinsentif bagi perempuan untuk bekerja. Sebab, tanggung jawab mengasuh anak dapat memaksa perempuan untuk meninggalkan pasar tenaga kerja (Estevão, et al., 2021).
Perempuan juga cenderung bekerja paruh waktu, dalam pekerjaan informal, dan rata-rata menerima gaji yang lebih rendah daripada pria (Harding, 2023). Sejumlah studi juga menunjukan elastisitas penawaran tenaga kerja wanita menikah yang lebih besar ketimbang laki-laki (Alesina, et al: 2007).
Beragam bias gender itu mendorong pandangan akan perlunya kebijakan berupa pengurangan ataupun insentif tersendiri bagi perempuan. Untuk itu, perpajakan berbasis gender diusulkan sebagai kebijakan yang menjanjikan guna menutup kesenjangan gender.
Perpajakan berbasis gender ini dimaksudkan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan mengerek status perempuan di pasar tenaga kerja dan dalam keluarga. Partisipasi perempuan yang lebih besar pada pasar tenaga kerja diharapkan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Contoh penerapan
PADA kawasan Asia Tenggara, negara yang sudah memberlakukan insentif khusus bagi perempuan di antaranya adalah Singapura. Negara itu menerapkan Working Mother’s Child Relief (WMCR), di mana penghasilan tidak kena pajak (PTKP) perempuan pekerja yang melahirkan lebih besar.
Hal tersebut membuat sang ibu dapat membayar PPh lebih sedikit setelah melahirkan atau justru tidak membayar pajak jika penghasilannya di bawah PTKP baru. Adapun di salah satu negara di Afrika, terdapat insentif berupa pembebasan PPN bagi popok bayi (Setyawan, 2022). (rig)