Prabowo Subianto
JAKARTA, DDTCNews–Calon Presiden (Capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto mengkritik kinerja perpajakan pemerintah karena capaian rasio pajak yang hanya sekitar 10%, sehingga terus menumpuk utang untuk membiayai belanja negara yang terus-menerus bertambah.
Prabowo mengatakan kinerja rasio pajak era Presiden ke-2 Indonesia Soeharto yang pernah 16% jauh lebih baik ketimbang posisi saat ini. “Di era Soeharto yang otoriter katanya, tax ratio-nya selalu di atas 14%,” ujarnya dalamIndonesia Economic Forum di Jakarta, Rabu (21/11).
Ketua Umum Partai Gerindra itu juga membandingkan kinerja rasio pajak era Presiden Jokowi dengan era Soeharto. Menurutnya, data Bank Dunia menunjukkan jika capaian rasio pajak Indonesia pada 2016 hanya 10,3%, lebih rendah dari era Soeharto yang bisa mencapai 16%.
Bahkan dari segi peringkat, sambungnya, Indonesia hanya nangkring di posisi 112 (per tahun 2016) dari 124 negara dengan capaian rasio pajak terbaik. Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Filipina (88), Singapura (87), Malaysia (86), Thailand (66).
Prabowo juga menyebut Indonesia kalah dengan negara seperti Zambia yang capaian rasio pajaknya mencapai 18%. “Zambia juga tax ratio-nya jauh lebih baik dari kita dan mungkin kita perlu belajar dari Zambia. Banyak negara yang performanya lebih baik dari kita,” ungkapnya.
Indonesia, kata Prabowo, punya potensi rasio pajak hingga 18-20%. Sayang, potensi itu tidak tercapai dan malah cenderung stagnan di angka 10%. Ia bahkan menyebut Indonesia bisa kehilangan potensi pajak US$60 miliar jika rasio pajak tidak bisa melebihi capaian era Soeharto.
“Kalau kita tidak bisa mencapai performa pajak melampaui Soeharto 16% ini, kita akan kehilangan US$60 miliar karena inefisiensi birokrasi, dan attitude yang kurang dalam mengelola ekonomi,” pungkasnya seperti dilansirjawapos.com.
Di tempat terpisah, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Fuad Bawazier kepada DDTCNews mengatakan tax ratio yang rendah selalu memicu utang, sehingga akhirnya negara berutang untuk bayar utang. Situasi ini tentu berbahaya bagi kesinambungan anggaran.
Sistem pajak yang ada saat ini masih terlalu rumit sehingga menyulitkan pelaku usaha. “Waktu saya kenakan pajak final yang memudahkan itu, saya berpikir 25 tahun kemudian sudah berakhir. Tapi ternyata tidak, yang ada malah semakin rumit,” kata mantan dirjen pajak ini. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.