TAHUN 2019 merupakan tahun politik bagi seluruh daerah di Indonesia, yang ditandai dengan adanya pemilu presiden dan wakil presiden untuk periode jabatan 2019-2024. Pada pesta pemilu kali ini yang bersaing sama seperti Pemilu 2014, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Walaupun terbilang masih cukup lama, tetapi kebijakan yang akan dilaksanakan kedua capres itu sudah banyak yang diberitahukan kepada publik. Kebijakan tersebut terdiri atas sektor ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lain sebagainya.
Dari sektor ekonomi, rencana kebijakan para capres sudah menyita perhatian publik, salah satunya adalah sistem perpajakan. Memang, pajak sudah seperti penunjang kehidupan, sehingga tidak heran kebijakan perpajakan menjadi suatu momok yang menjadi perhatian publik.
Joko Widodo, petahana yang juga capres nomor urut 1 mengatakan bahwa ia akan melanjutkan reformasi perpajakan yang dirancang sejak lama. Reformasi yang dimaksud ialah mengoptimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan melanjutkan kebijakan sebelumnya.
Di sisi lain, kebijakan yang akan dilaksanakan penantangnya, yaitu capres nomor urut 2 Prabowo Subianto, justru memiliki kontradiksi yang cukup signifikan. Pada visi dan misinya, Prabowo akan melaksanakan kebijakan fiskal yang berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat.
Di bidang perpajakan, kebijakan yang dimaksud Prabowo adalah menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) secara nasional, menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) 21, dan menghapuskan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Kebijakan dari Jokowi dan Prabowo memiliki perbandingan yang sangat kontras, tetapi dari kedua kebijakan tersebut hanya kebijakan Jokowi yang masih bisa diapresiasi. Pasalnya, kebijakan tersebut sudah memberikan dampak bagi masyarakat Indonesia.
Dalam periode kepemimpinan Jokowi, penerimaan negara dari perpajakan mengalami kenaikan yang signifikan. Tahun 2017 misalnya, adalah tahun dengan realisasi penerimaan perpajakan paling tinggi, yaitu 91% dan yang tertinggi jika dibandingan dengan periode sebelumnya.
Penurunan PPh juga sudah dilaksanakan, tapi hanya untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tujuannya agar kesadaran pajak UMKM kian meningkat, karena menurut Badan Pusat Statistik, dengan kontribusi Produk Domestik Bruto 80%, UMKM yang membayar pajak hanya 5%.
Adapun reformasi perpajakan yang akan dilanjutkan adalah edukasi pajak. Program ini bukan menitikberatkan pada wajib pajak, tetapi justru pada pegawai pajak agar bisa mengabdikan diri melayani wajib pajak dengan baik, sehingga mampu mengajak masyarakat membayar pajak.
PTKP, PPh 21, dan PBB
PADA dasarnya kebijakan Jokowi yang akan dilanjutkan akan berfokus pada PNBP, karena menurutnya sistem penerimaan pajak sudah tertata dengan optimal. Hal ini tentu berbeda dengan kebijakan fiskal yang akan dilaksanakan oleh Prabowo.
Misalnya, pertama, menaikkan batas PTKP. PTKP merupakan suatu batas untuk bisa menentukan seseorang wajib membayar PPh atau tidak. Saat ini batas PTKP berada pada Rp54.000.000/ tahun. Itu berarti PPh hanya dikenakan pada mereka yang berpenghasilan Rp4.500.000/ bulan.
Jadi ketika batas PTKP dinaikkan, secara otomatis pendapatan pajak dari PPh akan menurun karena jumlah wajib pajaknya akan berkurang. Tentu, hal ini akan menurunkan pendapatan dari penerimaan perpajakan itu sendiri.
Kedua, menurunkan tarif PPh 21. Secara makroekonomi, penurunan tarif PPh akan meningkatkan pendapatan nasional. Namun, meningkatnya pendapatan nasional bukan berarti meningkatkan kesejahteraan setiap masyarakat.
Sebab, pendapatan nasional hanya merujuk pada total pendapatan yang dihasilkan pelaku pasar di dalamnya, sedangkan tujuan pajak sendiri meningkatkan kesejahteraan setiap individu yang ada di dalam lingkup masyarakat.
Pokok yang menjadi pertanyaan saat ini adalah penurunan PPh yang dimaksud Prabowo ditujukan kepada siapa dan bagaimana teknis penurunannya. Padahal, penurunan PPh sudah dilaksanakan pada era kepemimpinan Jokowi, yaitu PPh UMKM 1% menjadi 0.5%.
Di satu sisi, penurunan PPh UMKM menurunkan penerimaan, namun jika dianalisis, penurunan itu juga dimaksudkan sebagai agen persuasi bagi pelaku UMKM untuk taat membayar pajak. Berbeda dengan kebijakan Prabowo menaikkan batas PTKP yang akan membuat wajib pajak PPh berkurang.
Selanjutnya dikatakan bahwa Prabowo akan menurunkan tarif PPh 21 yang merupakan sektor perpajakan terbesar. Jika kebijakan tersebut dilaksanakan, kemungkinan pendapatan PPh akan turun 2 kali dan akan berpengaruh besar tehadap pendapatan perpajakan itu sendiri.
Ketiga, menghapuskan PBB untuk rumah tinggal dan rumah pertama. PBB merupakan pajak yang dikenai atas suatu objek kebendaan. Pada 2017 pendapatan perpajakan dari sektor PBB yang diterima Ditjen Pajak mencapai Rp16,8 triliun, yaitu 108% dari target yang ditentukan.
Hal ini menunjukkan pendapatan pajak dari sektor PBB memberikan dampak yang positif bagi perpajakan. Realisasi PBB yang surplus membuktikan kesadaran pajak untuk membayar PBB semakin meningkat, walaupun di beberapa daerah masih minim akan pembayaran PBB.
Di sisi lain, keputusan pemerintah yang mengalihkan pengelolaan PBB-P2 ke pemerintah daerah, dengan sendirinya menjadi bagian dari pendapatan daerah. Karena itu, menghapuskan PBB justru akan berdampak negatif bagi pemda karena akan mengurangi pendapatannya.
Penghapusan PBB mungkin lebih baik diganti dengan kebijakan yang meningkatkan pendapatan PBB di daerah. Misalnya membuat kemudahan dalam pembayaran PBB, penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang lebih adil, dan edukasi terhadap subjek pajak di daerah yang rawan defisit PBB.
Kita tahu, 80% dana APBN berasal dari pajak. Jadi, tidak bisa dimungkiri kebijakan perpajakan sangat menentukan kehidupan warga. Karena itu, pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang terbaik, dan menjalin kerja sama dengan warga guna mendorong sistem perpajakan yang adil dan terpercaya.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.