Rizqa Lahuddin,
PERKEMBANGAN teknologi saat ini memungkinkan hampir semua hal bisa dilakukan secara online. Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan bisa dilakukan melalui penggunaan aplikasi. Kebutuhan hiburan, seperti pencarian tiket pesawat dan tiket konser, juga bisa lewat aplikasi.
Singkatnya, pada era sekarang, akan selalu ada layanan dalam bentuk aplikasi atau situs web. Layanan terkait dengan berbagai kebutuhan dapat disediakan tanpa mengharuskan seseorang beranjak dari tempat duduknya.
Selain menciptakan jenis pekerjaan baru, disrupsi akibat perkembangan teknologi juga memunculkan model bisnis yang tidak terbayang oleh sebagian besar orang beberapa tahun lalu. Dengan bantuan Internet, petani bisa langsung menjual produknya tanpa melalui tengkulak. Cukup via aplikasi.
Pemilik rumah bisa menyewakan kamarnya ke traveller melalui penyedia aplikasi. Siapapun yang memiliki mobil, motor, atau truk bisa menggunakan kendaraannya untuk mengantarkan orang, barang, atau makanan juga melalui penyedia aplikasi.
Ada penyedia aplikasi dengan fungsi sebagai perantara untuk mempertemukan supply dan demand yang selama ini diisi pihak nonformal, seperti calo atau tengkulak. Selain itu, ada pula penyedia aplikasi yang menggunakan skema pendayagunaan aset.
Skema pendayagunaan aset yang selama ini bersifat konsumtif menjadi produktif agar memiliki nilai ekonomi. Artinya ada pembagian (sharing) manfaat kepada orang lain dengan imbalan. Skema seperti inilah yang biasa disebut sebagai fenomena sharing economy.
Dengan munculnya aktivitas baru, seperti sharing economy, idealnya ada pengaruh terhadap peningkatan produk domestik bruto (PDB) dan penerimaan pajak. Namun, berdasarkan pada data World Bank, persentase pajak terhadap PDB Indonesia selama 2015—2022 justru mengalami penurunan.
Hal ini menunjukkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum optimal dalam menangkap potensi penerimaan pajak dari peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat yang salah satunya berasal dari fenomena sharing economy.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2020, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-146/PJ/2021, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2021, pengawasan wajib pajak di KPP Pratama menggunakan model kewilayahan.
Seksi Pengawasan I untuk wajib pajak prioritas, sedangkan Pengawasan II—V menerapkan pengawasan berbasis wilayah. Artinya, account representative dituntut untuk mengenal betul wilayah kerjanya. Tugas mereka lebih banyak dilakukan di lapangan.
Walaupun model ini memiliki kelebihan, masih terdapat 2 masalah. Pertama, jumlah wajib pajak dalam suatu wilayah yang harus diawasi bisa sangat banyak. Kedua, DJP masih berfokus pada aktivitas ekonomi offline atau tempat usaha yang memiliki lokasi fisik—dalam istilah asing disebut brick and mortar store – sebagai strateginya. Era ekonomi sudah 4.0, tetapi pendekatan yang digunakan masih 3.0.
Bayangkan seorang pengusaha yang memiliki KTP dan NPWP terdaftar di KPP Pondok Aren menjalankan usahanya melalui marketplace dari tempat usahanya di Manggarai. Pengusaha ini menyewa sebuah gudang di Marunda sebagai tempat penyimpanannya.
Account representative tidak akan menemukan aktivitas ekonomi apapun di Pondok Aren. Jika tempat usaha yang dimiliki masih offline sekalipun, seseorang bisa memiliki kios, toko, atau outlet yang jauh dari tempat tinggalnya.
WALAUPUN terkesan modern dan canggih karena merupakan satu bagian dari economy 4.0, sharing economy tetap tergantung pada aset fisik. Hal inilah yang seharusnya digunakan oleh DJP dalam penggalian potensi pajaknya.
Apartemen atau truk yang disewakan sama-sama membutuhkan aset fisik. Tanpa aset berwujud, sharing economy tidak akan berjalan. Bisnis aplikasi transportasi online bergantung pada orang yang memiliki aset berupa motor.
Data aset yang dimiliki DJP sangat luar biasa. Selain yang diakui oleh wajib pajak dalam SPT Tahunan, terdapat data aset dari Tax Amnesty, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan data eksternal yang dibagi oleh instansi lain, seperti Badan Pertanahan Nasional. Data yang dapat diakses publik, seperti LHKPN, juga bisa didapatkan.
Sayangnya, pemanfaatan data aset ini lebih banyak difokuskan pada pertanyaan “berapa penghasilan yang dimiliki karena bisa membeli aset tersebut?”, bukan pada pertanyaan “berapa penghasilan yang bisa dihasilkan dari aset tersebut?”.
Jika wajib pajak X memiliki 5 mobil. Padahal anggota keluarga hanya ada 3 orang. Nilai penghasilan yang dimiliki X karena mampu membeli 5 mobil menjadi tidak relevan lagi. Hal ini dikarenakan sharing economy memudahkan upaya optimalisasi aset menjadi produktif. Kemungkinan besar 2 mobil tersebut digunakan untuk transportasi online atau disewakan kepada pihak lain.
Contoh lain, sangat jarang ada orang memilki 2 rumah dan 3 apartemen pada saat ini dan hanya mendiamkannya. Dengan berfokus kepada pendayagunaan aset wajib pajak, DJP dapat menangkap potensi penghasilan dari sharing economy yang belum diakui dalam SPT Tahunan.
Seperti kata Louis Glickman, seorang business executive dari Amerika, “The best investment on earth is earth”. Orang akan terus membeli aset berwujud. Dengan adanya sharing economy, aset yang dibeli sebagai kegiatan konsumtif dengan mudah menjadi produktif.
Sebagai wajib pajak, sudah sewajarnya membayar pajak atas penghasilan tersebut. Jika tidak, sudah menjadi tugas DJP untuk mengawasi dan menggali potensinya. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, di tengah economy 4.0, strategi yang digunakan juga harus penggalian potensi 4.0.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.