Muhammad Wiryo Susilo,
PANDEMI Covid-19 telah membuat aktivitas ekonomi bertransformasi dari konvensional menjadi digital. Kebijakan pembatasan ruang gerak masyarakat membuat sektor usaha pada bidang digital berkembang sangat pesat.
Kondisi tersebut tentu menjadi peluang bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Peluang yang dimaksud menyangkut pemajakan terhadap sektor yang berkaitan dengan bidang digital, terutama atas cross border digital transaction.
Ada peningkatan signifikan atas pendapatan baik pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, pemajakan dapat menjadi salah satu pilihan untuk mendanai pemulihan ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19.
Ketentuan mengenai pajak digital di Indonesia baru diatur dalam Perpu 1/2020. Dalam beleid tersebut ada pengaturan pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh), hingga pajak transaksi elektronik (PTE).
Saat ini, baru PPN PMSE yang sudah diterapkan seiring dengan diterbitkannya PMK 48/2020 pada tahun lalu. Sementara itu, aturan turunan untuk pelaksanaan pengenaan PPh PMSE dan PTE masih belum ditetapkan pemerintah.
Pada 2020, transaksi perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia sekitar Rp120 triliun. Potensi penerimaan PPN mencapai Rp12 triliun per tahun. Namun, karena belum semua perusahaan digital menjadi pemungut PPN, penerimaan yang dihimpun baru Rp2,1 triliun.
Belum maksimalnya penerimaan pajak dari perusahaan pada bidang digital dikarenakan aturan-aturan yang ada tidak memberikan hak pemajakan bagi yuridiksi pasar tanpa adanya kehadiran fisik. Kondisi ini tidak menguntungkan yuridiksi pasar seperti Indonesia.
Aturan teknis mengenai PPh PMSE serta PTE tidak kunjung diterbitkan pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah lebih memilih untuk menunggu tercapainya konsensus global sebelum mengeluarkan aturan teknis atas jenis pajak tersebut.
RENCANA penerapan kebijakan pajak digital berbasis konsensus global, yang telah tertuang dalam Pilar 1 Unified Approach proposal pajak OECD, sangat didukung karena akan diterapkan melalui konsensus multilateral.
Dalam pembahasan terakhir, ruang lingkup Pilar 1 tidak lagi dibatasi pada sektor ekonomi digital seperti Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Businesses (CFB). Kebijakan pajak akan diberlakukan atas seluruh korporasi multinasional yang memenuhi threshold peredaran bruto global diatas €20 miliar dan profitabilitas laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto di atas 10%.
Setelah 7 tahun penerapan, threshold peredaran bruto global tersebut akan diturunkan menjadi €10 miliar. Adapun korporasi multinasional yang bergerak di bidang jasa keuangan dan industri ekstraktif dikecualikan dari kebijakan dalam Pilar 1 ini.
Apabila korporasi multinasional tersebut memperoleh penghasilan minimal sebesar €1 juta dari yurisdiksi pasar atau sebesar € 250 untuk yuridiksi pasar dengan produk domestik bruto (PDB) di bawah €40 milliar, hak pemajakan akan direalokasikan kepada yurisdiksi pasar.
Adapun realokasi dilakukan dengan tidak lagi menggunakan prinsip arm's length principle. Realokasi menggunakan formula pada Pilar 1, yaitu sebesar 20% hingga 30% dari residual profit korporasi multinasional.
Residual profit adalah setiap laba korporasi multinasional yang berada di atas laba global sebesar 10%. Sebagai contoh, bila laba global suatu korporasi multinasional sebesar 12% maka residual profit yang berhak dipajaki yurisdiksi pasar adalah sebesar 2%.
Sebagai negara dengan pasar besar, Indonesia akan diuntungkan karena mendapat hak pemajakan atas laba yang diperoleh korporasi multinasional bila Pilar 1 resmi diimplementasikan. Pengenaan pajak tetap berjalan meskipun tidak ada bentuk usaha tetap (BUT) bersifat fisik di Indonesia.
Potensi penerimaan sangat besar. Berdasarkan pada data BKF dan DJP, Indonesia memiliki lebih dari 100 korporasi multinasional yang berpendapatan global lebih dari €20 miliar dan keuntungan lebih dari 10% sesuai dengan cakupan threshold Pilar 1.
KONSENSUS atas Pilar 1 diproyeksikan tercapai pada Oktober 2021. Setelah itu, akan disiapkan multilateral instrument pada 2022 dan diimplementasikan pada 2023.
Oleh karena itu, dalam waktu yang relatif singkat, diperlukan cara untuk menjamin kepastian pajak. Penerapan Pilar 1 harus dibarengi dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional yang efektif mengantisipasi pajak berganda.
Pasalnya, penyelesaian sengketa pajak saat ini masih saja menimbulkan ketidakpastian dalam interpretasi dan aplikasinya, seperti Mutual Agreement Procedure yang tidak mewajibkan otoritas pajak untuk mencapai kesepakatan. Alhasil, rasio sengketa yang dapat diselesaikan sangat rendah.
Penerapan Pilar 1 harus didahului dengan kesepakatan tiap negara untuk membatalkan kebijakan pajak digital yang bersifat unilateral, seperti digital services tax yang telah diterapkan di Inggris, India, Italia, dan sebagainya. Hal ini penting untuk meminimalisasi timbulnya pajak berganda.
Selain itu, perlu dilakukan penyederhanaan skema dalam Pilar 1, terutama mengenai porsi dan hak pemajakan. Unified approach yang kompleks akan menyulitkan implementasi, terutama pada negara-negara berkembang yang memiliki sistem administrasi pajak dan sumber daya relatif rendah.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.