Banon Keke Irnowo,
USAHA Mikro Kecil Menengah (UMKM) dikenal selalu bertuah dalam menyelamatkan Indonesia dari setiap krisis ekonomi. Sejarah membuktikan saat krisis ekonomi 1998, UMKM menjadi salah satu penyelamat dan penggerak ekonomi Indonesia ketika sektor lain tak sanggup lagi berdiri.
Pada masa sulit sebelum pandemi Covid-19 terjadi, UMKM juga tetap stabil berkontribusi. Mengutip data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada 2019, UMKM memberikan kontribusi 60,34% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Pada saat pandemi melanda, UMKM masih diharapkan menjadi penyelamat roda ekonomi. Kendati Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sempet memprediksi separuh UMKM Indonesia akan mati suri, pemerintah tetap mati-matian menggelontorkan insentif.
Pemerintah meyakini UMKM yang akan menjadi pahlawan melumat resesi ekonomi ini. Pemerintah ternyata juga tetap membutuhkan UMKM sebagai sumber penerimaan pajak. Hal itu terindikasi dari rencana pengaturan ulang batasan omzet pengusaha kena pajak (PKP).
Rencana kebijakan tersebut masuk dalam Renstra Kemenkeu 2020-2024 pada PMK 77/2020. “Perluasan tax base pengenaan pajak konsumsi … dilakukan melalui … pengaturan ulang batasan pengusaha kena pajak,” demikian rencana pemerintah dalam beleid tersebut.
Oleh karena itu, dapat diprediksi, salah satu kebijakan yang urgen adalah mendesain threshold minimal PKP ideal untuk disematkan dalam sistem pemungutan pajak tidak langsung ini. Tantangan dalam menentukan threshold PKP akan berkorelasi dengan UMKM sebagai pihak yang paling terdampak. Mengapa?
Pertama, jika ditetapkan terlalu tinggi maka akan menggerus basis pemajakan. Pengusaha yang berada di bawah ambang batas tidak akan masuk ke dalam sistem pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai PKP.
Kedua, apabila terlalu rendah akan membebani dalam penambahan biaya dan tenaga administrasi bagi pelaku usaha. Ketiga, risiko distorsi kompetisi karena perbedaan perlakuan pajak antara pengusaha yang berada di bawah dan di atas ambang batas PKP (Keen dan Mintz, 2004).
LALU, bagaimana seharusnya mendesain threshold PKP yang ideal berkaca pada permasalahan di atas? Pertama, berorientasi pada upaya meminimalisasi biaya kepatuhan pajak. Best practice ambang batas PKP yang diwajibkan atas pajak konsumsi ini beragam di setiap negara.
Ada negara yang menerapkan tanpa batas seperti Chile, Colombia, Meksiko, Spanyol, dan Turki. Ada pula yang membatasi di atas Rp10 Miliar seperti Singapura. Berdasarkan pada Laporan OECD Tax Policy Reforms 2020, sebanyak 37 negara memiliki rata-rata threshold PKP ekuivalen Rp1,2 milliar.
Dalam laporan itu diketahui negara-negara maju memiliki threshold PKP yang jauh lebih rendah dari ambang batas di Indonesia. Contohnya, Amerika Serikat (Rp1,7 miliar), Inggris (Rp1,6 milliar), Prancis (Rp1,6 milliar), Jepang (Rp1,3 miliar), Australia (Rp700 juta) dan Kanada (Rp350 Juta).
Di sisi lain, rata-rata negara berkembang cenderung memiliki threshold yang lebih tinggi daripada ambang batas di negara maju. Dapat dimaklumi, kelemahan sistem administrasi perpajakan dan besarnya sektor ekonomi informal di negara berkembang membuat pengambilan jalan pintas untuk memangkas biaya kepatuhan pajak UMKM.
Menariknya, Indonesia masih terlalu welas asih meninggikan ambang batas PKP hingga Rp4,8 Miliar. Apabila dibandingkan dengan UMKM di Chile, Colombia, dan Meksiko yang sama-sama negara berkembang, sekecil apapun omzetnya, mereka wajib menjadi pemungut PPN.
Kedua, berorientasi pada peningkatan penerimaan pajak. Merujuk kepada riset yang empiris dalam jurnal Simposium Nasional Keuangan Negara 2018 bertajuk VAT Threshold and Taxpayers’ Behavioral Responses, peneliti Direktorat Jenderal Pajak Agung Endika Satyadini melakukan studi mencari nilai batasan optimal PKP dengan populasi wajib pajak di Indonesia pada 2014 sampai dengan 2016.
Hasil studi tersebut menyimpulkan nilai batasan optimal PKP senilai Rp1,8 miliar untuk 2014, Rp1,6 miliar untuk 2015, dan Rp1,2 miliar untuk 2016. Selain itu, diperoleh juga prospek tambahan penerimaan PPN sebesar 3% atau sekitar Rp10.8 triliun jika menggunakan nilai tersebut dibandingkan dengan threshold Rp4,8 miliar.
Lebih jauh, terdapat pula hasil yang menarik lainnya, yaitu bukti empiris indikasi awal adanya praktik penghindaran PPN. Wajib pajak cenderung melaporkan omzet lebih rendah untuk tidak melebihi batasan PKP.
Ketiga, berorientasi pada upaya meminimalisasi distorsi kompetisi PKP dan non-PKP. Dalam laporan terbaru Juli 2021 World Bank berjudul Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia, e-commerce Indonesia, yang didominasi UMKM, diproyeksi tumbuh 54% pada 2020.
Dengan besarnya potensi tersebut, World Bank mendorong Indonesia untuk menurunkan threshold PKP demi mendistorsi kompetisi antara PKP dan non-PKP. Langkah ini diperlukan untuk menciptakan kesamaan level playing field berdasarkan pada asas equity.
Berkali-kali organisasi internasional ini merekomendasikan penurunan threshold. Dalam kajian sebelumnya bertajuk Indonesia Economic Prospects 2021, mereka mendorong penurunan threshold kembali menjadi Rp600 juta. Angka ini sejatinya sudah pernah diterapkan Indonesia melalui PMK 68/2010.
Ambang batas PKP yang ideal seharusnya mempertimbangkan ketiga hal di atas. Sebagai alternatif, penurunan threshold PKP juga dapat dilakukan secara bertahap. Hal ini bertujuan memberikan waktu bagi pelaku UMKM untuk mempersiapkan menyandang status baru sebagai PKP.
Pada akhirnya, kita berharap pada masa sulit ini, UMKM kembali bertuah menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi sebagai sumber basis pemajakan yang sustainable dan berkeadilan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.