Adhi Nugroho,
BERMULA dari isu kesehatan, berujung pada resesi ekonomi. Pagebluk Corona ibarat serangan fajar. Senyap lagi mematikan. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II/2020 terkontraksi 5,32%, berlanjut pada triwulan III/2020 minus 3,49%.
Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dikabarkan paling terdampak resesi. Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat sekitar 30% dari total 64 juta pelaku UMKM di Indonesia mengalami penurunan omzet.
Untuk menjaga arus kas dan daya gedor pelaku usaha selama pandemi, pemerintah telah memberi keringanan terhadap 5 jenis pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.86/ /2020. Salah satunya adalah pajak penghasilan (PPh) final ditanggung pemerintah (DTP).
Beleid tersebut membebaskan pelaku usaha dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun dari kewajiban membayar PPh senilai 0,5% dari omzet bruto. Dengan kata lain, pelaku UMKM terbebas dari PPh sejak April 2020 hingga Desember 2020.
Aturan itu tentu meringankan beban pelaku UMKM. Namun, insentif ini belum mencakup seluruh kategori pelaku UMKM, khususnya pelaku usaha menengah. Klasifikasi UMKM sendiri diatur UU No.20/2008.
Dalam peraturan itu, usaha menengah didefinisikan sebagai usaha yang dijalankan perorangan atau badan usaha dengan omzet tahunan Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar. Pelaku usaha yang dibebaskan PPh final ialah mereka yang memiliki omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun saja.
Sebaliknya, mereka yang beroleh pendapatan, katakanlah, Rp4,9 miliar per tahun, mesti membayar PPh seperti biasa, kendati sama-sama UMKM dan terdampak Corona. Faktanya, kontribusi usaha menengah cukup besar, yakni 13,7% terhadap produk domestik bruto (Kemenkop UMKM, 2019).
Hingga Juli 2020, Bank Indonesia mencatat penyaluran kredit kepada usaha menengah mencapai Rp465,80 triliun, atau setara 43% total kredit UMKM. Pangsa itu lebih besar dibandingkan dengan usaha mikro 26% maupun usaha kecil 31%.
Kondisi ini jelas tidak selaras dengan salah satu prinsip perpajakan yang digagas Adam Smith (1776), yakni keadilan. Seyogianya, pelaku usaha menengah juga diberi insentif pajak serupa, meski bentuknya tidak harus sama. Lalu, insentif pajak apa yang tepat bagi pelaku usaha menengah?
Jawabannya tentu tidak mudah. Kebijakan perpajakan tidak semata bertujuan memberi insentif, tetapi sebagai instrumen budgetair untuk membiayai APBN. Pemberian insentif wajib memperhatikan keberlangsungan APBN tidak hanya selama pandemi, tetapi juga pemulihan pascapandemi.
Titik tengah itu seharusnya diletakkan pada sumber permasalaha, yaitu kesehatan. Pandemi jelas-jelas berpotensi meningkatkan biaya penanganan kesehatan bagi pelaku usaha. Pemilik usaha harus keluar biaya jika dirinya atau pekerjanya sampai terpapar Corona.
Uji usap untuk mendeteksi Covid-19, misalnya, tidak murah, Rp900 ribu sekali tes. Biaya pengobatan Corona di rumah sakit, rawat jalan ata rawat inap, juga mahal. Meski pemerintah berjanji mengganti seluruh biaya pengobatannya, kondisi di lapangan masih jauh dari kata optimal.
Seorang pasien Corona di RS Siloam Tangerang misalnya. Ia mengaku kebingungan setelah pihak rumah sakit menyodorkan tagihan Rp290 juta. Berita ini viral di media sosial setelah Sang Penyintas membagikan kisahnya lewat akun Twitter @okyisokay.
Belum lagi pelaku usaha mesti menaati dan menjalankan protokol kesehatan. Paling tidak, mereka harus menyiapkan masker, wastafel, maupun alat pembersih tangan di lokasi usaha. Itu artinya, ada biaya tidak terduga yang mesti dikeluarkan pelaku usaha selama era adaptasi kebiasaan baru.
PPh Kesehatan
DENGAN demikian, insentif yang tepat bagi pelaku usaha menengah adalah dengan memperbolehkan wajib pajak memasukkan segala biaya penanganan Corona sebagai faktor pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dalam perhitungan PPh.
Langkah serupa juga telah ditempuh Chili sebagai salah satu relaksasi pajak bagi warganya selama pandemi berlangsung. Supaya singkat, anggaplah keringanan pajak ini kita sebut insentif PPh kesehatan.
Cara mengalkulasinya mirip dengan perhitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) biasa. Misalnya, Pak Budi, lajang, memiliki omzet kotor Rp5 miliar per tahun. Biaya yang berkaitan dengan usahanya Rp4 miliar. Kebetulan ia terpapar Corona, dan mengeluarkan biaya pengobatan Rp100 juta.
Dalam kondisi biasa, jumlah PKP Pak Budi Rp946 juta. Jumlah itu diperoleh dengan cara mengurangi omzet dengan biaya usaha dan PTKP Lajang. Dengan insentif PPh Kesehatan, jumlah PKP tadi dikurangi lagi dengan biaya pengobatan Rp100 juta, sehingga totalnya menjadi Rp846 juta.
Nilai itulah yang akan menjadi dasar perhitungan tarif PPh progresif sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh. Melalui skema di atas, prinsip keadilan pajak bagi pelaku usaha menengah terdampak Corona akan tercapai.
Pada masa pandemi, kebijakan efisiensi bagi dunia usaha, termasuk di dalamnya PPh, bisa mendukung upaya pemulihan ekonomi di masa depan (Phillips dan Steel, 2020). Paling tidak, biaya penanganan Corona dikeluarkan dari perhitungan pajak sampai vaksin Corona bisa diproduksi massal.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.