LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Tekan Spekulasi Tanah, Timbang Penerapan Idle Land Tax di Indonesia

Redaksi DDTCNews
Rabu, 25 September 2024 | 09.47 WIB
ddtc-loaderTekan Spekulasi Tanah, Timbang Penerapan Idle Land Tax di Indonesia

Muhammad Harmaen Pasha,

Kabupaten Deli Serdang - Sumatra Utara

TANAH merupakan fondasi, bukan penghambat pembangunan. Sebagai sumber daya alam dengan fungsi sosial yang signifikan, tanah merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Secara teoretis, investasi terhadap tanah seharusnya dapat membawa efek domino terhadap aktivitas ekonomi. Nyatanya teori ini tidak berbanding lurus dengan realitas.

Dalam beberapa tahun ini, investasi terhadap tanah justru membawa dampak kontraproduktif. Hal ini dikarenakan kecenderungan perilaku investor yang bersifat spekulatif. Dalam konteks ini, investasi dilakukan dengan membeli tanah tanpa ada aktivitas produktif terhadap tanah tersebut. Hal ini memunculkan fenomena banyaknya tanah terlantar (idle land).

Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah (PPRPT) Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyatakan pada 2010 hingga Juli 2019, tanah yang diindikasikan terlantar di Indonesia telah melebihi 4.000 bidang dengan luas total mencapai 2,93 juta hektare (Apriani dan Inayati, 2020).

Luasnya tanah terlantar tersebut pun turut berdampak pada sangat tingginya harga tanah sehingga sulit dijangkau masyarakat umum. Kondisi ini menghalangi masyarakat yang ingin memanfaatkan lahan sehingga menghambat aktivitas ekonomi. Akibatnya, pembangunan ekonomi yang organik sulit tercapai di wilayah-wilayah dengan tingkat tanah terlantar signifikan.

Di sisi lain, pada 2002-2016, keuntungan investasi properti ternyata cukup signifikan, bahkan mencapai 135,53%. Compound Annual Growth Rate (CAGR) – tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata – sebesar 5,88% (Rahmawati et al., 2024). Fakta ini tentu membuat investor enggan mengubah modus operandi investasi mereka. Pemerintah yang harus memutar otak mengatasi isu ini.

Kebijakan yang dapat dipertimbangkan justru berasal dari sisi fiskal, terutama pajak. Pemerintah dapat mempertimbangkan pengenaan idle land tax atau bisa disebut pajak tanah terlantar. Pajak dikenakan atas tanah yang terlantar atau menganggur. Tujuannya untuk medorong pemanfaatan tanah tersebut sehingga terjadi perputaran roda ekonomi di daerah tempat tanah itu berada.

Dengan demikian, pengenaan idle land tax juga dapat mengurangi spekulasi tanah, meningkatkan produktivitas lahan, dan membantu mengatasi masalah ketersediaan lahan untuk kebutuhan pembangunan. Dalam momentum bonus demografi, tentu saja akses terhadap ketersediaan tanah menjadi penting mengingat banyaknya jumlah penduduk usia produktif.

Skema kebijakan ini bukanlah hal baru dalam konteks kebijakan fiskal tingkat global. Salah satu negara yang sudah menerapkan pajak ini dan memiliki kemiripan secara sosial-ekonomi dengan Indonesia adalah Filipina.

Mekanisme idle land tax di Filipina berupa surcharge, yakni tambahan pungutan atas pajak properti dengan tarif bervariasi, maksimal 5%, sesuai kebutuhan daerah. Idle land tax tersebut mencakup tanah pemukiman, tanah agrikultur, maupun tanah non-agrikultur dengan luas tertentu yang tidak dioptimalkan pemanfaatannya.

Selain di Filipina, skema ini juga berhasil diterapkan di Vancouver, Kanada. Mereka berhasil menurunkan jumlah properti (rumah dan tanah) terlantar dari 2.538 pada 2017 menjadi kurang dari 1.500 pada 2022 (Rahmawati et al., 2024).

Dalam konteks Indonesia sendiri, terdapat dua instrumen yang dapat dipertimbangkan untuk menerapkan kebijakan idle land tax. Pertama, menggunakan pajak penghasilan (PPh) atas capital gain dari tanah terlantar tersebut.

Saat ini, terdapat ketentuan PPh yang dikenakan atas unrealized gain, yaitu revaluasi aset tetap yang dilakukan setiap lima tahun. Namun, PPh umumnya dikenakan atas penghasilan yang terealisasi (realized gain) sehingga penerapannya menjadi cukup sulit.

Dalam konteks ini, penting untuk menerapkan idle land tax secara tahunan agar dampaknya dapat maksimal. Dengan demikian, ketentuan revaluasi aset tetap yang ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengenaan idle land tax.

Kedua, menggunakan instrumen pajak bumi dan bangunan (PBB). Instrumen PBB sepertinya lebih sesuai untuk dimanfaatkan Indonesia untuk penerapan kebijakan idle land tax. Hal ini dikarenakan penggunaan instrumen PBB lebih kontekstual dengan objek pajak yang ingin dikenakan, yakni tanah terlantar. 

Ketentuan di Indonesia mengenal PBB perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang feasible untuk disisipkan kebijakan idle land tax. Dalam konteks ini, idle land tax dapat diejawantahkan dalam berbagai bentuk, seperti tambahan pungutan atas objek tanah terlantar, tarif progresif berdasarkan pada lamanya tanah terlantar, ataupun peningkatan nilai jual objek pajak (NJOP) bagi tanah terlantar.

Secara garis besar, presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran dapat mengkaji lebih lanjut mengenai skema idle land tax yang dirasa paling sesuai dengan konteks Indonesia. Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa sudah waktunya pemerintah baru menginisiasi adanya disinsentif bagi para investor spekulatif terhadap aset tanah.

Idle land tax dapat menjadi bagian dari satu langkah kecil, tetapi pasti menuju bauran kebijakan pertanahan yang lebih holistik di Indonesia. Hal ini untuk menunjang pembangunan, baik melalui penerimaan pajak daerah itu sendiri maupun dengan peningkatan pembangunan yang bersifat organik sebagai efek pemanfaatan tanah yang optimal.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.