PEMERINTAH menargetkan penerimaan negara pada tahun 2019 mencapai Rp 2.165,2  triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.786,4triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp378,3triliun dan penerimaan hibah Rp0,4 triliun.
Dari target penerimaan perpajakan tersebut, terdiri dari Rp1.577,6 triliun penerimaan pajak dan Rp208,8 triliun penerimaan bea dan cukai. Masih ada sejumlah risiko yang harus dihadapi pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak tersebut.
Tantangan yang paling dominan berasal dari kinerja perekonomian domestik yang tidak menunjukkan pergerakan sehingga penerimaan negara belum bisa tercapai 100% selama beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, pemerintah menggunakan beberapa instrumen seperti insentif fiskal. Namun, hal itu ternyata membuat pertumbuhan penerimaan perpajakan terhambat.
Selain itu, dalam beberapa tahun sebelumnya harga komoditas global rendah sehingga berdampak negatif terhadap penerimaan negara. Turunnya harga komoditas ini disebabkan oleh pembatasan penambangan dan ekspor oleh beberapa negara penghasil komoditas tertentu yang tidak diiringi oleh pertambahan permintaan atas komoditas tersebut.
Apa yang menjadi risiko bagi APBN?
Volatilitas harga BBM cukup besar dan perubahan pola konsumsi masyarakat cenderung bersifat leisure dan berbasis online. Faktor-faktor tersebut dinilai dapat berdampak negatif terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Risiko lainnya adalah persaingan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Filipina, Denmark, Kanada, dan Taiwan dalam melakukan reformasi perpajakan seperti memberikan insentif pada pajak perusahaan (PPh badan) untuk menarik investasi.
Selain hal tersebut, ada beberapa faktor lainn yang dapat menyebabkan tidak tercapainya target pajak. Pertama lemahnya kepatuhan wajib pajak. Salah satu faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat penerimaan pajak adalah kepatuhan wajib pajak. Pertumbuhan ekonomi tanpa kepatuhan wajib pajak belum dapat menjamin peningkatan penerimaan perpajakan.
Kedua, tingginya shadow economy. Dari sudut pandang perpajakan, shadow economy dikatakansebagai hard-to-tax sectors, baik dari usaha legal dari sektor informal (contohnya sektor pertanian dan perikanan) maupun usaha ilegal yang sengaja dilakukan untuk menghindari kewajiban administratif dan perpajakan.Â
Beberapa penelitian menyatakan bahwa besaran shadow economy di negara berkembang seperti Indonesia bisa mencapai 30%-40% terhadap produk domestik bruto (PDB). Besaran angka tersebut mencerminkan potensi kerugian negara dari sektor pajak yang diakibatkan aktivitas shadow economy.
Ketiga, struktur penerimaan pajak yang tidak berimbang. Struktur penerimaan pajak Indonesia yang tidak berimbang menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya penerimaan pajak.
Struktur penerimaan pajak Indonesia didominasi PPh badan, dengan persentase 25%-28% terhadap pendapatan pajak dalam negeri. Sedangkan di negara maju, PPh badan hanya menyumbang 11% terhadap total penerimaan pajak. Hal ini memberikan kerentanan terhadap penerimaan pajak karena berkorelasi langsung dengan kinerja sektor tertentu.
Keempat, rendahnya tax buoyancy. Idealnya, pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan perpajakan memiliki hubungan yang kuat. Korelasi ini ditunjukkan melalui indikator tax bouyancy, yang mana bila pertumbuhan nominal ekonomi sama dengan pertumbuhan nominal pajak, maka tax bouyancy = 1. Namun berdasarkan data historis, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak diikuti oleh penerimaan perpajakan yang setara dengan tax buoyancy.
Dalam hal ini, terdapat potensi penerimaan perpajakan dari kegiatan ekonomi yang tidak dapat ditangkap secara optimal. Hal ini menjadi refleksi bahwa perpajakan di Indonesia membutuhkan banyak perbaikan.
Tax buoyancy menjadi sangat penting untuk mewujudkan penerimaan perpajakan yang berkelanjutan seiring dengan tumbuhnya ekonomi.Kondisi ini memiliki kaitan yang erat dengan tingginya shadow economy dan kepatuhan pembayar pajak yang rendah.
Kelima, rumitnya administrasi dan perubahan kebijakan perpajakan yang dinamis. Salah satu penyebab tidak tercapainya target penerimaan pajak adalah sistem administrasi pajak yang dianggap rumit oleh wajib pajak dan kebijakan perpajakan yang sering berubah menimbulkan ketidakpastian dan meningkatkan sengketa pajak. Hal tersebut menyebabkan tingkat kepatuhan sukarela masyarakat untuk membayar pajak melemah.
Dengan kondisi tersebut, maka reformasi pajak di Indonesia perlu didorong untuk mampu bersaing dalam kompetisi global dalam menghadirkan iklim bisnis yang mendukung. Selain reformasi perpajakan, Pemerintah perlu menghadirkan kepastian hukum untuk memberikan iklim investasi yang baik.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.