PERUSAHAAN Penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak membayar pajak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama 10 tahun terakhir, proyeksi potensi ketidakpatuhannya telah mencapai Rp100 triliun. Hal tersebut perlu diberikan perhatian khusus oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingat jumlah PMA di Indonesia akan terus meningkat setiap tahunnya.
Realisasi PMA pada kuartal I 2018 tercatat sebesar Rp108,9 triliun atau naik 12,4% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp97 triliun dan diproyeksikan akan terus meningkat setiap kuartalnya. Selain itu, pada 2004, PMA yang terindikasi melakukan modus penghindaran pajak tercatat sebanyak 1.452 perusahaan. Namun pada 2015 meningkat drastis menjadi 4.000 PMA. Dengan kondisi tersebut, DJP perlu strategi khusus untuk menagih hak negara dari PPh badan perusahaan PMA, agar tidak menjadi preseden buruk ke depannya.
Data dari Kanwil DJP Jakarta Khusus menyebutkan, PMA yang mengalami kerugian sebesar 28% atau sekitar 3.918 PMA rugi selama 1-2 tahun dan 1.150 PMA rugi selama 3-5 tahun. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi DJP, bagaimana bisa sebuah perusahaan yang sudah rugi bertahun-tahun tetapi masih bisa bertahan, bahkan ekspansi bisnis di Indonesia.
PMA yang selama ini belum membayar pajaknya dengan benar, melatar belakangi DJP untuk mengeluarkan peraturan mengenai Debt to Equity Ratio (DER) sebesar 1:4. Peraturan mengenai DER diharapkan mampu untuk mengindikasi manipulasi antara besaran modal dan piutang perusahaan dengan tujuan untuk menekan keuntungan.
Namun penerapannya belum cukup untuk menghentikan modus rugi terus-menerus yang dilakukan oleh sekitar 4.000 PMA. Indikasi utama kerugian yang dilaporkan tersebut adalah terkait Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Pergeseran laba yang dilakukan tidak terlepas dari offshore financial center atau negara-negara yang disebut tax haven yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan rendah, tidak mempunyai transparansi atau pertukaran informasi perpajakan seperti dijelaskan dalam laporan OECD Harmful Tax Competition.
Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan peraturan atas penghindaran pajak, salah satunya melalui Alternative Minimum Tax (AMT). Pengertian AMT sendiri adalah jenis pengenaan pajak yang didesain untuk menghindari perusahaan dari tidak membayar pajak atau membayar terlalu kecil dibandingkan dengan penghasilan mereka.
Dengan mengenakan AMT, potensi penghindaran pembayaran pajak bagi wajib pajak yang mengaku selalu rugi dapat diminimalisasi. Selain itu, dengan AMT, wajib pajak dipaksa untuk membayar pajak walaupun mengalami kerugian, tentunya ketika ruginya dianggap tidak wajar sesuai kriteria tertentu. AMT dirancang untuk mencegah wajib pajak yang berpenghasilan tinggi melakukan pemanfaatan atau penggunaan celah perpajakan (tax loopholes) untuk menghindari pembayaran pajak.
Kebijakan AMT ini bertujuan untuk menutup celah bagi wajib pajak yang menghindari pajak dengan melaporkan kerugian perusahaan. Sudah menjadi rahasia umum, modus seperti ini dilakukan oleh banyak perusahaan PMA dengan skema menanggung kerugian di Indonesia, di mana pendapatannya digunakan untuk membayar utang pada induk usaha di luar negeri sehingga membukukan rugi terus-menerus.
DJP perlu mengkaji beberapa hal sebelum sepenuhnya menerapkan AMT sebagai salah satu strategi dalam melakukan reformasi pajak, seperti terkait dispensasi waktu, penentuan besaran tarif AMT serta bagaimana skema AMT yang tidak menyebabkan distorsi yang besar dalam perekonomian. DJP juga dapat memanfaatkan benchmark dengan menggunakan data rata-rata kinerja keuangan di masing-masing industri yang dimiliki, sehingga dapat menentukan prioritas pemeriksaan untuk PMA yang rugi maupun untuk menetapkan besaran AMT.
Langkah awal dalam menghitung besaran AMT adalah dengan menghitung regular tax income terlebih dahulu. Kemudian, dengan didasarkan regular tax income, penyesuaian akan dilakukan untuk menghasilkan Alternative Minimum Taxable Income (AMTI). Dalam menghitung AMTI, beberapa unsur pengurang dan kredit pajak yang dapat digunakan pada saat menghitung regular tax income tidak lagi dapat dijadikan pengurang.
Oleh karena itu, terdapat kemungkinan nilai pajak yang dihasilkan lewat perhitungan AMT lebih besar dibandingkan dengan regular tax income. Dengan demikian, selisih antara nilai pajak yang dihitung dengan menggunakan aturan AMT dengan nilai pajak yang dihitung dengan menggunakan aturan regular tax income merupakan nilai AMT yang harus dibayar oleh wajib pajak.
Kebutuhan penerimaan pajak yang semakin besar dan menjadi andalan dalam APBN, mengharuskan DJP untuk memikirkan cara baru dalam meningkatkan penerimaan pajak melalui intensifikasi. Salah satu upaya yang sedang dikaji adalah penerapan AMT.
Namun perlu diperhatikan, agar kebijakan ini tidak mengganggu arus investasi asing di Indonesia. Perlu dipertimbangkan pula skema untuk menjaga jangan sampai penggenjotan penerimaan pajak berakibat pada terganggunya kegiatan ekonomi yang tentunya pasti akan mempengaruhi besaran pertumbuhan ekonomi. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.