Sejumlah narasumber seminar nasional ini bertajuk "Dampak Tax Amnesty Terhadap Pelaporan Keuangan sesuai dengan PSAK 70 di Universitas Mercubuana, Jakarta. (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews - Program pengampunan pajak (tax amnesty) masih menjadi agenda diskusi di beberapa seminar nasional yang diadakan di kampus-kampus. Jumat (28/10) lalu, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mercubuana bekerja sama dengan kompartemen Akuntan Pendidik (AKPd) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menghadirkan sederet pakar akuntansi dan pajak.
Seminar nasional ini bertajuk "Dampak Tax Amnesty Terhadap Pelaporan Keuangan sesuai dengan PSAK 70," dan dibagi ke dalam dua sesi. Ada pun pakar yang menjadi pembicara ke dalam dua sesi tersebut di antaranya, Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak John Hutagaol, Managing Partner DDTC Darussalam, dan anggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI Ersa Tri Wahyuni.
Menurut Ersa Tri Wahyuni, program tax amnesty memberikan sejumlah dampak tertentu pada laporan keuangan suatu entitas. Dalam rangka mendukung tax amnesty DSAK IAI menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 70 bagi yang ingin berpartisipasi dalam program tersebut.
"Kami berikan dua opsi untuk memilih metode perlakuan terbaik yang dapat menghasilkan informasi andal terkait pelaporan aset dan liabilitas," katanya di Jakarta.
Lebih lanjut, Ersa mengatakan jika partisipan tax amnesty ingin mengungkapkan harta yang diperlakukan berbeda dengan standar yang berlaku umum, dapat menggunakan opsi ke dua (PSAK 70) dan mengikuti ketentuan yang terutang pada pasal 10 sampai pasal 23.
Dalam acara yang sama, Darussalam memaparkan tax amnesty dari perspektif konstitusional. Isu pelanggaran konstitusi yang ditimbulkan oleh undang-undang tax amnesty akan diuji materi soal keadilannya di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kondisi adil merupakan sesuatu yang sulit diterapkan dalam pemungutan pajak. Jarang suatu kebijakan pajak bersifat the best policy, yang tersedia pilihannya adalah the second best policy," ungkapnya di Jakarta.
Darussalam mencoba memberikan komparasi program yang sama dengan mengambil studi kasusdi negara Jerman. MK Jerman menyatakan perlakuan yang berbeda antara wajib pajak yang tidak patuh dan wajib pajak patuh dapat dijustifikasi oleh tujuan dan maksud dari peraturan perundang-undangan tax amnesty.
"Yaitu sebagai jembatan menuju kepatuhan dan demi peningkatan penerimaan negara," tutupnya. (Gfa)