Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji (kanan) saat memberikan paparan dalam kuliah umum ‘Dampak Digitalisasi terhadap Sektor Pajak’ di Kampus Institut Bisnis dan Informatika (IBI) Kwik Kian Gie, Jakarta, Rabu (19/6/2019). (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Dua pilar terkait pemajakan ekonomi digital yang disepakati untuk menjadi dasar pencapaian konsensus global pada 2020 akan meredam perlombaan penurunan tarif pajak. Implementasi kedua pilar ini juga akan memberi dampak positif bagi Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji dalam kuliah umum bertajuk ‘Dampak Digitalisasi terhadap Sektor Pajak’ di Kampus Institut Bisnis dan Informatika (IBI) Kwik Kian Gie, Jakarta, Rabu (19/6/2019).
Di depan ratusan mahasiswa, dia memaparkan perkembangan terkini terkait upaya pencapaian konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital. Perkembangan terkini didapatkan dari pertemuan para menteri keuangan negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang pada awal bulan ini.
“Pilar pertama mengenai alokasi hak pemajakan yang mencakup pembaharuan nexus dan skema pengalokasian laba. Pilar kedua tentang GloBE (Global Anti-Base Erosion) yang menjamin adanya pajak minimum bagi yurisdiksi yang memiliki keterkaitan dengan bisnis digital,” paparnya.
Proposal yang disodorkan forum BEPS Inclusive Framework OECD ini, menurut Bawono, berdampak positif pada Indonesia. Pada pilar pertama, terlihat ada keberpihakan bagi negara pasar seperti Indonesia, yang memiliki jumlah pengguna platform digital cukup banyak.
Selanjutnya, pada pilar kedua, GloBE akan meredam intensitas kompetisi pajak yang tidak sehat. Hal tersebut pada gilirannya akan mengurangi tekanan penurunan tarif PPh badan maupun pemberian insentif pajak yang berlebihan.
Dalam kuliah umum tersebut, Bawono juga membahas dampak digitalisasi terhadap administrasi pajak. Menurutnya, digitalisasi akan membuat aministrasi pajak menjadi semakin mudah dan efisien karena berbagai model sistem elektronik yang bisa digunakan.
Dengan kemudahan dan efisiensi dari sisi administrasi, Ditjen Pajak juga bisa memanfaatkan pesatnya digitalisasi untuk memudahkan pengolahan data kepatuhan wajib pajak (WP). Apalagi, otoritas mulai mengimplementasikan berbagai pertukaran informasi, termasuk automatic exchange of information (AEoI).
Pada saat yang bersamaan, lanjut dia, otoritas juga bisa mulai mengkaji pengenaan pajak atas teknologi atau robot. Bagaimanapun, teknologi akan menggantikan beberapa bidang pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh manusia.
“Pajak atas teknologi atau robot juga bisa jadi alat untuk menjamin ketersediaan lapangan kerja manusia yang sudah tergantikan oleh mesin,” imbuhnya.
Sekadar informasi, kuliah umum ini diadakan bersamaan dengan penandatanganan kerja sama (MoU) pendidikan antara DDTC dan IBI Kwik Kian Gie. Penandatanganan MoU ini menambah deretan perguruan tinggi yang sudah berkolaborasi dengan DDTC.
Sebelum IBI Kwik Kian Gie, tercatat ada 13 perguruan tinggi di Indonesia yang telah memiliki perjanjian kerja sama pendidikan dengan DDTC. Ketiga belas perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Diponegoro.
Selanjutnya, ada Universitas Kristen Petra, Institut STIAMI, Universitas Sebelas Maret, Universitas Brawijaya, STHI Jentera, Universitas Kristen Maranatha, Universitas Muhammadiyah Sukabumi, YKPN Yogyakarta, dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). (kaw)