FIA UNIVERSITAS INDONESIA

Formulasi Pajak Tanah Idle Harus Komprehensif

Awwaliatul Mukarromah
Jumat, 29 September 2017 | 17.29 WIB
Formulasi Pajak Tanah Idle Harus Komprehensif
Seminar nasional pajak tanah idle FIA Universitas Indonesia, Jumat (29/9). (Foto: DDTCNews)

DEPOK, DDTCNews – Klaster Riset Politik Perpajakan, Kesejahteraan, dan Ketahanan Nasional (POLTAX) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) menggelar seminar  nasional ‘Kebijakan Pajak atas Idle Land: Peluang dan Tantangan’ di Auditorium Lt. 4 Gedung M, FIA UI pada hari ini, Jumat (29/9).

Seminar yang mengulas peluang dan tantangan kebijakan pajak tanah kosong (idle land) ini menghadirkan para narasumber yang merupakan staf pengajar dari FIA UI, yaitu Inayati, Vishnu Juwono, Indriani, dan Murwendah.

Inayati mengungkapkan kebijakan pajak saat ini dirasa belum mampu menjamin pemerataan sosial dalam kepemilikan tanah, seperti pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotan (PBB-P2), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan pajak penghasilan (PPh).

Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah sempat menggulirkan rencana pengenaan pajak atas tanah idle. Dengan menggunakan instrumen pajak progresif atas capital gain, pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan lahan tidak produktif (unused land) untuk dapat dimanfaatkan/dibangun.

“Kebijakan ini perlu dikaji mendalam dalam tahap formulasinya sehingga dapat menghasilkan kebijakan pajak yang komprehensif dan tepat sasaran di level impelementasinya,” ujar Inayati.

Dari hasil kajian awal yang dilakukannya, pemerintah dimungkinkan untuk membuat pungutan tambahan atas PBB P2 (surcharge) dengan dasar pemajakannya berupa nilai jual objek pajak (NJOP) dengan tarif tertentu dan di bawah ketentuan yang terpisah di luar UU PBB saat ini.  

Dalam kesempatan itu, Murwendah mengatakan dalam menyusun kebijakan ini harus ada definisi yang jelas mengenai apa itu tanah idle. “Di berbagai negara, pajak atas tanah sendiri memiliki sistem yang bervariasi, sehingga definisi menjadi masalah pokok yang harus dijawab sebelum menerapkan kebijakan pajak tanah kosong ini,” tuturnya.

Vishnu menambahkan pemajakan atas tanah ini perlu dilakukan dengan hati-hati. Pasalnya tidak ada hubungan yang kuat antara kepemilikan tanah dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay). Bisa jadi mereka yang memiliki lahan kosong belum tentu memiliki penghasilan (income) untuk digunakan membayar pajak, seperti mereka yang menerima harta warisan.

Adapun, untuk mengatasi masalah pertanahan ini, Indriani menuturkan pemerintah sebetulnya memiliki dua opsi kebijakan, antara lain memberi disinsentif atas tanah mengganggur atau memberikan insentif bagi tanah yang produktif (improved land). “Masih perlu kajian mendalam terkait formulasi pajak tanah kosong ini agar relevan dan sesuai dengan konteks sosial ekonomi Indonesia,” pungkasnya.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.