Kantor Ditjen Pajak. (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Imbauan Ditjen Pajak terhadap wajib pajak untuk lebih cermat mengisi surat pemberitahuan (SPT) tahunan dan ketentuan baru mengenai pelaksanaan penagihan pajak menjadi topik pajak terpopuler sepanjang pekan ini.
Guna meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak, pemerintah merevisi sejumlah ketentuan perpajakan melalui UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu upaya pemerintah tersebut adalah terkait dengan SPT Tahunan.
Dalam Pasal 13 ayat (4) UU KUP yang telah diubah dengan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, SPT menjadi pasti apabila dalam 5 tahun tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), kecuali wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 13 ayat (4) ini merupakan klausul baru dalam pelaksanaan pemenuhan administrasi perpajakan. Aturan ini juga menjadi cara bagi otoritas pajak untuk meningkatkan kepastian hukum dengan basis self-assessment.
Oleh karena itu, wajib pajak diimbau untuk lebih cermat dalam mengisi SPT Tahunan. Penambahan ketentuan itu juga merupakan bagian dari upaya DJP meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak dan mengapresiasi wajib pajak yang sudah patuh.
Berita pajak terpopuler lainnya adalah diterbitkannya ketentuan baru mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 189/2020.
Misal, dalam hal pemberitahuan surat paksa. Berdasarkan PMK 189/2020, pejabat menerbitkan surat paksa apabila penanggung pajak belum melunasi utang pajak setelah lewat waktu 21 hari terhitung sejak tanggal surat teguran disampaikan.
Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat paksa diberitahukan oleh juru sita pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan surat paksa kepada penanggung pajak.
PMK 189/2020 juga mengatur soal pemberian surat teguran. Apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajak, surat teguran diterbitkan setelah lewat waktu 7 hari sejak saat jatuh tempo pembayaran utang pajak.
Dalam PMK tersebut, surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada wajib pajak agar melunasi utang pajaknya.
Surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah mendapat persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat teguran kepada penanggung pajak dilakukan secara langsung; melalui pos dengan bukti pengiriman surat; melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau melalui saluran lain yang ditetapkan oleh dirjen pajak. Berikut berita pajak pilihan sepanjang pekan ini (7-11 Desember 2020).
Sudah Ada Data yang Dimiliki DJP, Pajak Tidak Dapat Dihindari
Seiring dengan banyaknya data dan informasi yang didapatkan, Ditjen Pajak (DJP) meminta wajib pajak untuk patuh secara sukarela.
Data yang didapat dari lembaga keuangan menjadi salah satu modal kuat otoritas untuk secara selektif memastikan kewajiban perpajakan sudah dilakukan secara benar. Dengan demikian, wajib pajak juga diimbau untuk patuh.
Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, pemerintah juga telah mengubah skema pengenaan sanksi administrasi dengan basis suku bunga acuan.
DJP Bakal Beri Ketentuan Transisi Pengecualian Dividen dari Objek PPh
Pemerintah akan memberikan ketentuan transisi atas kebijakan pengecualian dividen dari objek pajak penghasilan (PPh).
Sesuai dengan UU PPh yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja, dividen dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan dalam negeri sudah langsung dikecualikan dari objek PPh. Dengan demikian, tidak ada pemungutan PPh.
Namun, untuk dividen dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi, harus memenuhi syarat diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Hingga saat ini, periode dan instrumen investasi yang dimaksud masih digodok pemerintah.
Lalu, dividen dan penghasilan setelah pajak dari bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri juga bisa dikecualikan dari objek PPh sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis lainnya Indonesia dalam jangka waktu tertentu serta memenuhi salah satu persyaratan.
Sri Mulyani: Tarif Cukai Rokok 2021 Naik 12,5%! Ini Perinciannya
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2021 rata-rata sebesar 12,5%. Kenaikan tarif berlaku pada setiap golongan produk, kecuali sigaret kretek tangan (SKT).
Terdapat 5 hal yang dipertimbangkan pemerintah sebelum menentukan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Pertama, kesehatan masyarakat. Kedua, lapangan pekerjaan pada industri rokok. Ketiga, para petani yang menghasilkan tembakau dan memasok pada industri rokok.
Keempat, peredaran rokok ilegal. Kelima, penerimaan negara. Adapun rokok jenis sigaret putih mesin (SPM) golongan 1 mengalami kenaikan tarif paling tinggi ketimbang jenis rokok lainnya, yaitu naik 18,4%.
RUU Pelaporan Keuangan Bisa Dorong Kepatuhan Wajib Pajak
RUU Pelaporan Keuangan diyakini akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Nanti, pemerintah akan membangun sistem pelaporan keuangan yang terhubung langsung dengan kementerian/lembaga yang berwenang menerima laporan sesuai peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara Sistem Pelaporan Keuangan Terpadu (PSPKT) akan menjadi lembaga di bawah Kementerian Keuangan yang mendapatkan pelimpahan kewenangan dari menteri keuangan untuk menyelenggarakan sistem pelaporan.
PSPKT akan memiliki sejumlah kewenangan mulai dari menyelenggarakan sistem pelaporan, melakukan pembinaan terhadap entitas pelapor, menerima hingga mengelola data laporan keuangan, mengevaluasi penyusunan dan keberlakuan standar.
Lalu, mengusulkan komite standar, mengkaji perkembangan dan penerapan standar, membina dan mengawasi profesi penunjang pelaporan keuangan, menyosialisasikan pelaporan keuangan dan standar, dan menjalankan wewenang lain yang diberikan oleh menteri keuangan.
DJP Ingin Semua Orang Tanggung Beban Pajak yang Proporsional
Dengan ketentuan pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) pembeli dalam faktur pajak, Ditjen Pajak (DJP) ingin semua aktivitas ekonomi masuk sistem administrasi.
Selama ini, banyak ditemui pembelian produk yang tidak mencantumkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) pembeli. Dalam konteks pembelian oleh distributor kepada pabrik misalnya, kondisi tersebut membuat DJP tidak bisa melakukan pengecekan.
Dengan kewajiban pencantuman identitas, baik NIK atau NPWP, DJP berharap semua aktivitas dapat terekam dan masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan. Dengan demikian akan tercipta keadilan (fairness) bagi seluruh wajib pajak. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.