LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Iklim Kepatuhan Pajak yang Sinergis atau Antagonis?

Redaksi DDTCNews | Rabu, 22 Januari 2020 | 15:09 WIB
Iklim Kepatuhan Pajak yang Sinergis atau Antagonis?
Davin Andika
Metro
, Lampung

MEMBAYAR pajak merupakan kewajiban setiap warga negara. Prioritas utama negara adalah agar setiap warga negara patuh terhadap regulasi perpajakan yang berlaku tanpa memedulikan motif warganya dalam membayar pajak. (Kirchler, 2008)

Meski tampaknya penerimaan pajak tidak relevan dengan motif wajib pajak (WP) membayar pajak, pembedaan amotif tersebut tergolong penting (Braithwaite, 2007). Hal ini karena dengan pembedaan tersebut, otoritas pajak dapat memperlakukan WP sesuai dengan perilaku WP itu sendiri.

Sebagai contoh, pembayaran pajak oleh WP yang tidak patuh perlu ditegakkan melalui peraturan yang berlaku, sedangkan kepada WP yang secara sukarela perlu diperlakukan dengan hormat. Tujuannya agar tercipta hubungan atau iklim yang diinginkan antara otoritas pajak dan WP.

Hubungan ini penting karena hubungan antara otoritas pajak dan WP serta iklim yang dihasilkan dari hubungan tersebut sudah sering digunakan dalam literatur pajak untuk mengukur tingkat kepatuhan pajak di berbagai negara (Muehlbacher, 2011).

Model riset dengan pendekatan ekonomi serperti dikemukakan Allingham dan Sandmo sering dipakai dalam mengukur tingkat kepatuhan pajak. Namun, riset tersebut menunjukkan terdapat ambiguitas atas hasil yang mereka peroleh dalam menentukan faktor kepatuhan wajib pajak.

Kirchler et al. (2008) mengemukakan konsep mengukur kepatuhan pajak dengan perspektif ekonomi dan psikologi, yaitu slippery slope framework. Dalam konsep ini, faktor penentu kepatuhan WP terdiri atas kekuasaan (power) dan kepercayaan (trust) otoritas pajak serta hubungannya dengan WP.

Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang mengandalkan power otoritas pajak, dalam pendekatan ini WP dianggap memiliki daya pikir dan reaksi berbeda atas peraturan, yaitu kepatuhan yang dipaksakan (enforced compliance) dan kepatuhan sukarela (voluntary compliance).

Kepatuhan sukarela ini mengedepankan trust dan hubungan baik otoritas pajak dan WP. Misalnya melalui layanan yang memudahkan WP. Konsep slippery slope framework ini telah diuji peneliti Eropa. Bukti empiris mendukung relevansi power dan trust sebagai penentu kepatuhan (Mas’ud, 2014),

Riset Kogler et al. (2013) dan Wahl et al. (2010) memperoleh hasil kepatuhan pajak tertinggi dapat diperoleh apabila power dan trust masuk dalam kategori tinggi. Konsep slippery slope framework juga menegaskan power dan trust dapat memecahkan dilema sosial kepatuhan pajak.

Dimensi power dalam konsep ini menitikberatkan pada persepsi WP terhadap kapasitas otoritas pajak dalam mendeteksi dan menghukum pengemplang pajak. Karena itu, dimensi ini akan menghasilkan kepatuhan yang bersifat memaksa (enforced compliance).

Dimensi trust mencakup basis psikologis kepatuhan pajak, peraturan perpajakan bersifat jelas dan mudah dipatuhi serta pandangan otoritas pajak bersifat adil dan berjuang untuk kepentingan publik. Maka, dimensi ini akan menghasilkan kepatuhan yang bersifat sukarela (voluntary compliance).

Sinergis dan Antagonis
HUBUNGAN trust dan power terhadap kepatuhan pajak memang tergolong rumit. Apabila trust dan power otoritas pajak rendah, tingkat kepatuhan akan berada pada titik terendah. Apabila trust rendah tetapi power tinggi, kepatuhan yang terbentuk cenderung mengarah pada enforced compliance.

Artinya, WP tetap berusaha menghindari pajak ketika mereka bisa. Di sisi lain, jika trust tinggi, power yang ada tidak bermasalah karena telah ada kepatuhan sukarela. Dengan kata lain, dalam slippery slope framework, iklim yang dihasilkan hubungan otoritas pajak dan WP bisa sinergis atau antagonis.

Iklim sinergis terlihat ketika otoritas pajak memberikan layanan publik dan ia menempatkan diri sebagai bagian dari publik. Pendekatan ini digambarkan sebagai perilaku service and client’. Otoritas pajak memiliki prosedur yang transparan dan memberikan layanan yang suportif dan saling respek.

Sebaliknya, dalam Iklim antagonis, akan muncul situasi ‘cops and robbers’, otoritas pajak berasumsi semua warga cenderung menghindari pajak, sedangkan wajib pajak merasa dikejar, dikriminalisasi, dan dihukum, terlepas dari apakah terjadi pelanggaran atau tidak. (Braithwaite, 2003).

Iklim antagonis ini juga dilambangkan dengan tingkat power yang memaksa yang diberikan kepada otoritas pajak. Dengan demikian, kepatuhan pajak akan timbul karena adanya pengawasan yang kaku dan hukuman serta sikap negatif terhadap pajak.

Meski cukup berat, tetapi apabila iklim sinergis telah terbentuk, mempertahankan kepatuhan sukarela tidak hanya dianggap dapat menekan biaya dibandingkan dengan mempertahankan kepatuhan yang dipaksakan, tetapi juga berperan penting dalam menciptakan iklim yang sinergis.

Karena itu, penting bagi otoritas pajak mempelajari seni memungut pajak dengan membangun dan mempertahankan trust WP, serta memastikan kepastian hukum dalam menindak pengemplang pajak. Tujuan hubungan yang sinergis ini adalah tercapainya tingkat kepatuhan pajak yang lebih baik.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 24 April 2024 | 16:30 WIB KPP MADYA TANGERANG

Lokasi Usaha dan Administrasi Perpajakan WP Diteliti Gara-Gara Ini

Rabu, 24 April 2024 | 15:30 WIB KEPATUHAN PAJAK

DJP: 13,57 Juta WP Sudah Laporkan SPT Tahunan hingga 23 April 2024

Selasa, 23 April 2024 | 17:00 WIB PROVINSI JAWA TENGAH

Tak Ada Lagi Pemutihan Denda, WP Diminta Patuh Bayar Pajak Kendaraan

Selasa, 23 April 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Apresiasi 57 WP Prominen, Kanwil Jakarta Khusus Gelar Tax Gathering

BERITA PILIHAN