LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Hati-Hati Memajaki Orang Kaya

Redaksi DDTCNews
Senin, 19 September 2022 | 15.50 WIB
ddtc-loaderHati-Hati Memajaki Orang Kaya

Elam Sanurihim Ayatuna,

Kota Depok, Jawa Barat

PAJAK dan keadilan merupakan topik diskursus hangat yang tak pernah lekang oleh zaman. Dalam bukunya yang terbit pada 1776 berjudul The Wealth of Nations, Bapak ekonomi modern Adam Smith menyatakan keadilan (equity) merupakan salah satu dari empat asas utama pemungutan pajak (the four maxim of taxation).

Asas keadilan tersebut mensyaratkan pemungutan pajak harus sesuai dengan kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat. Hal ini berarti masyarakat yang memiliki kemampuan lebih atau kaya seharusnya membayar pajak lebih banyak dari pada masyarakat dengan kemampuan sedikit atau miskin.

Oleh karena itu, salah satu diskursus keadilan dalam pajak adalah apakah sebenarnya kaum kaya telah membayar lebih banyak dari kelompok masyarakat biasa lainnya? Beberapa kelompok meyakini jika kaum kaya sebenarnya belum cukup berkontribusi melalui pajak.

Kelompok itu sering mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan pengenaan pajak lebih banyak pada orang kaya. Kebijakan tersebut dilaksanakan baik dengan peningkatan tarif pajak maupun pengenaan jenis pajak baru bagi kekayaan mereka, seperti pengenaan pajak warisan, pajak konsumsi barang mewah, pajak kekayaan, dan sebagainya.

Namun, di sisi lain, ada pula kelompok yang justru berpendapat sebaliknya. Para orang kaya sebenarnya sering mendapatkan ketidakadilan dari pemungutan pajak. Mereka bisa jadi dipajaki terlalu banyak (overtaxed).

Salah satunya dapat dilihat dari segi penerapan tarif pajak. Para orang kaya biasanya dikenakan pajak dengan tarif paling tinggi. Misalnya, dalam konteks Indonesia, wajib pajak kaya dengan penghasilan di atas Rp5 miliar dikenakan tarif pajak paling tinggi, yakni sebesar 35%.

Para orang kaya juga dikenakan pajak yang lebih banyak atas konsumsinya. Biasanya ada pengenaan jenis pajak khusus untuk menyasar konsumsi orang kaya, seperti pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang berlaku di Indonesia.

Secara keseluruhan, persentase pemajakan konsumsi atas orang kaya bisa jadi lebih besar dari masyarakat lainnya. Hal tersebut juga belum memperhitungkan jika ada jenis-jenis pajak baru bagi kekayaan mereka.

Selain dari segi persentase, secara jumlah nominal pemasukan pajak dari para orang kaya biasanya juga lebih banyak. Kontribusi mereka bahkan bisa mencapai 40% dari total penerimaan pajak penghasilan (Tax Foundation, 2021).

Tidak hanya karena kemampuan membayar mereka yang besar, kebijakan pajak yang berlebih (overtaxed) bisa pula menjadi penyebab banyaknya kontribusi mereka pada penerimaan negara.

Menimbang Risiko

HANYA saja, selain menimbang pro-kontranya pada keadilan, pemajakan orang kaya juga harus memperhatikan berbagai risiko yang menyertai. Misalnya, kenaikan tarif yang terlalu besar bagi para orang kaya sering kali meningkatan penggelapan pajak (Wilmers, 2015).

Selain itu, pengenaan pajak yang berlebih (overtaxed) pada orang kaya dapat menimbulkan penghindaraan pajak, seperti pemindahan kekayaan dan kewarganegaraan ke negara lain yang rendah pajak (Yakabuski, 2015). Hal ini justru membuat potensi ekonomi negara menurun, alih-alih meningkat.

Salah satu contoh yang masyhur dapat dilihat pada kasus orang kaya Prancis, Bernard Arnault. Pemilik merek fesyen Louis Vuitton tersebut pernah berencana pindah kewarganegaraan dari Prancis ke Belgia demi menghindari pengenaan tarif pajak di negaranya yang mencapai 75%.

Contoh lainnya pada laporan Henley Global Citizens (2022) yang menyebutkan pengenaan pajak yang tinggi menjadi salah satu penyebab ribuan orang kaya pindah kewarganegaraan dari berbagai negara.

Efek ke Perekonomian

KEBIJAKAN pemajakan atas orang kaya seharusnya tidak berkutat hanya pada cara memaksimalkan pengurangan kekayaan mereka. Pemerintah perlu mendorong penggunaan kekayaan mereka untuk meningkatkan perekonomian.

Harta para orang kaya banyak dalam bentuk aset investasi (Alamanda, 2022). Oleh karena itu, pemerintah perlu mengarahkan investasi mereka pada sektor produktif. Misalnya, diarahkan untuk membangun perusahaan yang mempekerjakan banyak orang, menggunakan bahan baku lokal, mengadopsi skema ramah lingkungan, dan sebagainya.

Untuk itu, alih-alih mengenakan tarif yang tinggi, insentif pajak justru bisa menjadi alternatif kebijakan. Insentif pajak yang menarik, apalagi disokong dengan kebijakan ekonomi lainnya, dapat menarik dana investasi para orang kaya dunia pada kegiatan produktif perekonomian.

Investasi yang produktif tersebut nantinya bisa menimbulkan efek berganda (multiplier effect) pada peningkatan perekonomian. Lebih jauh, dapat pula berefek pada peningkatan penerimaan pajak.

Namun, bukan berarti negara tidak boleh memajaki lebih banyak para orang kaya, apalagi jika menyangkut keadilan pemajakan. Hanya saja, kebijakan tersebut perlu dilakukan secara hati-hati dan cermat.

Jangan sampai kebijakan yang ditempuh malah menjadi boomerang, sehingga merugikan negara. Bagaimanapun, sejatinya tujuan pajak bukanlah untuk memiskinkan orang kaya, melainkan untuk menyejahterakan semua lapisan masyarakat.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.