KEGIATAN perdagangan internasional tidak lepas dari ekspor dan impor barang yang dikenakan tarif oleh pemerintah. Secara umum, pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk (pajak impor) dan pendapatan bea keluar (pajak ekspor).
Merujuk pada UU 17/2006 tentang Kepabeanan, bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan pada UU yang dikenakan terhadap barang yang diimpor atau barang yang masuk ke dalam daerah pabean. Sebaliknya, barang yang ke luar daerah pabean akan dikenakan bea keluar.
Adapun besaran tarifnya ditentukan berdasarkan jenis barang yang diimpor ataupun yang diekspor. Sebagai contoh, barang kebutuhan pokok strategis seperti gula dan beras akan dikenakan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan setengah jadi atau barang-barang yang sudah tercukupi produksi dalam negerinya.
Menurut data Kementerian Keuangan, pertumbuhan realisasi bea masuk pada kuartal III/2020 terkontraksi hingga 9,59% apabila dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun lalu. Adapun realisasi bea keluar terkontraksi hingga 2,11%.
Tabel berikut memperlihatkan perkembangan pajak perdagangan internasional sejak 2016 hingga target pemerintah pada 2021.
Apabila mengacu pada informasi di atas, pemerintah tengah memasang target-target yang dirasa cukup realistis untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19. Realisasi penerimaan bea keluar pada tahun-tahun sebelum terjadinya pandemi menunjukkan tren perkembangan yang cukup baik.
Namun, wabah pandemi yang terjadi memaksa pemerintah untuk menurunkan target cukup drastis melalui Perpres 72/2020, yakni dari senilai Rp2,6 triliun menjadi hanya senilai Rp1,7 triliun. Sementara itu, target untuk 2021 hanya dipatok senilai Rp1,8 triliun.
Di sisi lain, pemerintah juga menurunkan target 2020 untuk bea masuk menjadi hanya senilai Rp31,8 triliun. Padahal, realisasi penerimaan bea masuk pada tahun sebelumnya mencapai Rp37,5 triliun.
Terlepas dari adanya pandemi, secara keseluruhan, pertumbuhan pajak perdagangan internasional memang sudah terkontraksi sejak 2019, yakni mencapai 10,5%.
Oleh karena itu, di samping memperhitungkan dampak pandemi terhadap kinerja pajak perdagangan international, pemerintah juga perlu untuk mengevaluasi penurunan kinerja tersebut pada 2019.
Dengan demikian, strategi-strategi menyangkut optimalisasi pajak perdagangan internasional yang akan dijalankan ke depan tidak hanya sebatas langkah antisipasi dampak pandemi, tetapi juga faktor-faktor eksternal lain yang dapat memengaruhi kinerja pertumbuhan.*