Ilustrasi.
FASILITAS fiskal diberikan oleh pemerintah kepada sejumlah pihak, termasuk pengusaha, untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan itu, antara lain, mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesejahteraan sosial, hingga menarik investasi.
Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut, setiap negara bisa memberikan beragam skema fasilitas perpajakan sesuai dengan kebutuhannya. Fasilitas perpajakan ini kemudian dihitung sebagai belanja perpajakan (tax expenditure).
Berdasarkan jenis pajak, sebagian besar belanja perpajakan berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN), diikuti oleh pajak penghasilan (PPh). Meski demikian, belanja perpajakan dari PPh orang pribadi tergolong rendah.
Tax Expenditure Estimation Tool Kit yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) pada Desember 2023 menuliskan hanya 9 negara anggota yang membuat laporan belanja perpajakan. Secara rata-rata, pada 2020, belanja perpajakan di negara ADB tersebut sekitar 3,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Berikut ini data estimasi belanja perpajakan di 9 negara ADB yang melaporkannya.
Estimasi belanja perpajakan di Rusia menjadi yang tertinggi, yakni mencapai 14,8% PDB. Sementara itu, belanja perpajakan di India diestimasi hanya 0,4% PDB.
Negara dengan estimasi belanja perpajakan di bawah rata-rata anggota ADB yakni India sebesar 0,4% PDB, Selandia Baru 1,4% PDB, Indonesia 1,5% PDB, Mongolia 1,6% PDB, Filipina 2,6% PDB, serta Korea Selatan dan Pakistan masing-masing 2,8% PDB.
Sementara itu, hanya Australia dan Rusia yang memiliki belanja perpajakan di atas rata-rata negara ADB, masing-masing mencapai 7,92% PDB dan 14,8% PDB.
Australia, India, Selandia Baru, dan Pakistan merupakan negara yang menyampaikan laporan belanja perpajakan secara terperinci. Laporan ini bahkan berguna dalam menavigasi kebijakan perpajakan di masing-masing negara.
Meskipun metodologi estimasinya mungkin berbeda, semua laporan belanja perpajakan ini menampilkan indikator yang berguna seperti membandingkan penerimaan negara yang hilang dengan PDB dan total penerimaan pajak. Setiap laporan juga diberi catatan bahwa estimasi yang disusun dibatasi oleh jumlah dan akurasi data yang tersedia.
Beberapa negara seperti Australia dan Selandia Baru sudah sangat berpengalaman dalam menyediakan laporan belanja perpajakan sejak awal 1980-an. Australia memiliki lebih dari 200 aspek yang diidentifikasi sebagai belanja perpajakan, dengan estimasi total sekitar 4% PDB.
Belanja perpajakan di negara ini diestimasi dengan menggunakan berbagai jenis model. Model agregat digunakan dalam mengestimasi penerimaan yang hilang untuk belanja perpajakan yang dapat diambil dari neraca nasional. Model ini dipakai untuk penghitungan belanja perpajakan berupa cukai bahan bakar.
Kemudian, ada model distribusi untuk memperkirakan belanja perpajakan yang diberikan kepada wajib pajak. Sumber data untuk pemodelan distribusi antara lain adalah data survei serta data wajib pajak dari berkas administrasi perpajakan. Belanja perpajakan ini biasanya menyasar kelompok demografis serta individu dalam kelas berpenghasilan rendah.
Selain itu, model mikrosimulasi berdasarkan data wajib pajak juga digunakan untuk mengestimasi belanja perpajakan, baik pada orang pribadi maupun badan.
Tolok ukur estimasi belanja perpajakan Australia didasarkan pada definisi pendapatan Haig–Simons. Tolok ukur ditentukan untuk PPh orang pribadi, tunjangan pensiun, pajak tunjangan, PPh badan, dan cukai. Namun, di Australia tidak ada laporan belanja perpajakan untuk pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST) karena dianggap sebagai pajak untuk negara bagian.
Sementara itu, Selandia Baru tidak memiliki daftar belanja perpajakan pajak yang panjang. Belanja perpajakan di negara ini hanya sekitar 1,4% terhadap PDB.
Sebagian belanja perpajakannya berupa keringanan pajak untuk mendukung kegiatan sosial dan individu, serta mayoritas dalam bentuk kredit pajak. Belanja perpajakan untuk bisnis mendukung peternakan, lingkungan, dan penelitian ilmiah juga memiliki porsi besar.
Selandia Baru tidak menetapkan tolok ukur penghitungan belanja perpajakan berdasarkan norma-norma tertentu. Tujuan utama belanja perpajakan di negara ini adalah memberikan keringanan pajak kepada kelompok yang menjadi sasaran.
Di sisi lain, Pakistan memiliki jenis belanja perpajakan yang sangat banyak. Belanja perpajakan untuk jenis PPh dapat dikelompokkan berdasarkan tunjangan, kredit pajak, pengecualian, pengurangan tarif, dan pengurangan kewajiban.
Setelahnya, ada belanja perpajakan untuk PPN berupa pembebasan dan pengurangan tarif. Selain itu, ada pula fasilitas di bidang kepabeanan dalam bentuk pengecualian. (sap)