Hamida Amri Safarina dan Rizki Zakariya,
UPAYA penguatan pemulihan aset atas tindak pidana pajak menjadi salah satu subtansi perubahan Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang masuk dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam penjelasan Pasal 44B ayat (2a) UU KUP yang termuat dalam UU HPP, penanganan perkara pidana di bidang perpajakan lebih mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara daripada pemidanaan.
Artinya, penegakan hukum pidana pajak tidak ditujukan untuk penderaan sebagaimana pidana pada umumnya, tetapi untuk pemasukan keuangan negara. Apalagi, dari sudut pandang pemerintah, praktik ketidakpatuhan pajak jelas memberikan dampak negatif bagi upaya meningkatkan penerimaan pajak.
Oleh sebab itu, perlu adanya penegakan hukum pajak yang diikuti optimalisasi penagihan pajak, seperti pemulihan aset (asset recovery). Tulisan ini hendak melihat ketentuan pemulihan aset dalam UU HPP serta kesesuaiannya dengan teori dan peraturan perundang-undangan lainnya.
PEMULIHAN aset adalah proses yang meliputi penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan harta yang dikuasai pihak lain kepada korban atau yang berhak pada setiap tahap penegakan hukum.
Aset yang dimaksud adalah termasuk semua benda, baik materiel maupun nonmateriel, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, serta dokumen atau instrumen hukum yang memiliki nilai ekonomis.
Penerapan skema pemulihan aset sangat penting dalam penegakan hukum pidana pajak. Ada 4 penyebabnya.
Pertama, tujuan penegakan hukum pidana pajak adalah untuk memulihkan keuangan negara, bukan untuk mempidana wajib pajak. Hal ini selaras dengan prinsip ultimum remedium yang merupakan jalan terakhir dalam melakukan penegakan hukum. Sanksi pidana diberikan hanya jika sarana atau instrumen penegakan hukum lainnya tidak lagi berfungsi.
Bemmelen (1984) menyatakan pidana dan proses pemidaan harus dipandang tidak hanya sebagai sarana untuk perbaikan pelanggaran hukum yang dilakukan. Hukum pidana juga perlu dianggap sebagai sarana untuk mengembalikan keadaan seperti semula, dalam hal ini merujuk kepada hak negara untuk memperoleh penerimaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak.
Kedua, pemulihan aset pidana pajak di Indonesia masih rendah. Dirjen pajak pernah mengungkapkan pemulihan aset tersangka pidana pajak di Indonesia hanya 0,05% dari kerugian negara yang diputuskan pengadilan.
Kondisi tersebut dikarenakan tidak adanya kewenangan dirjen pajak untuk melakukan penyitaan, penangkapan, dan penahanan tersangka tindak pidana. Oleh sebab itu, perlu dilakukan langkah-langkah penguatan pemulihan aset atas tindak pidana pajak
Ketiga, UU HPP sebagai kerangka hukum pemulihan aset. Salah satu tujuan disahkannya UU HPP yang merevisi UU KUP adalah menguatkan penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
Hal tersebut tercermin dari ditambahkannya ketentuan dan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Ditjen Pajak (DJP) dalam melakukan upaya paksa untuk pemulihan aset pidana pajak dalam UU HPP. Kewenangan tersebut meliputi pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan tersangka tindak pidana pajak (Pasal 44C ayat (2)).
Kemudian, ada ketentuan pidana denda yang tidak bisa diganti pidana kurungan (Pasal 44C ayat (1) poin 17), pengembalian kerugian pada pendapatan negara hingga tahap perkara persidangan (Pasal 44B ayat (2b) dan (2d)), dan pelibatan pihak lain untuk terlibat dalam penanganan perkara pidana pajak (Pasal 34 ayat (3) poin 11).
Keempat, adanya kewenangan PPNS DJP untuk menyidik pidana pajak sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kewenangan itu sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU yang mengatur kewenangan penyidik tindak pidana asal (pidana pajak oleh PPNS DJP) untuk melakukan penyidikan TPPU.
Penyidikan TPPU bersamaan dengan pidana pajak penting diterapkan untuk pemulihan aset kerugian negara. Melalui penyidikan TPPU, aset yang disita/dibekukan hingga dirampas dapat lebih besar karena termasuk aset hasil pencucian uangnya. Dengan demikian, pemulihan keuangan pada pendapatan negara melalui penegakan hukum pidana pajak dapat lebih optimal.
Selain karena potensi penerimaan negara yang tinggi, pendekatan TPPU dalam penegakan hukum pajak juga dilakukan karena rentannya pajak sebagai tindak pidana asal pencucian uang. Berdasarkan pada data National Risk Assesment Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (NRA PPATK) 2021, sektor pajak menempati peringkat ketiga sebagai sektor yang rentan menjadi pidana asal TPPU dengan poin 6,74.
DENGAN adanya 4 urgensi yang disebutkan di atas, pemulihan aset penting diterapkan dalam penegakan hukum pajak. Namun, ada beberapa catatan terkait dengan upaya pemulihan aset di Indonesia yang diakomodasi melalui UU HPP.
Pertama, pemulihan aset dapat tidak berjalan maksimal karena adanya penghentian perkara. Menurut Jean-Pierre Brun dalam buku Asset Recovery Handbook: A Guide for Practitioners (2011), proses pemulihan aset terdiri atas 6 tahapan.
Tahapan tersebut meliputi pengumpulan bukti dan penelusuran aset, penahanan aset selama proses penyidikan berlangsung, kerja sama internasional jika aset berada di yurisdiksi lain, proses pengadilan, pelaksanaan hasil putusan pengadilan, serta pengembalian aset.
Sementara itu, dalam Peraturan Jaksa Agung No. PER-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset, proses pemulihan aset juga terdiri atas 6 tahapan. Tahapan tersebut meliputi penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan pelepasan aset tindak pidana.
Dengan demikian, pemulihan aset terdiri atas beberapa rangkaian upaya yang terkait satu sama lain. Namun, rangkaian upaya tersebut berpotensi terdistorsi karena dimungkinkannya penghentian penyidikan pidana pajak melalui suatu pembayaran kewajiban pajak dan denda.
Sebagai informasi, Pasal 44B ayat (2) UU KUP yang dimuat dalam UU HPP mengatur penghentian penyidikan pidana pajak apabila tersangka melunasi kerugian ditambah sanksi administrasi. Adapun besaran sanksi administrasi itu adalah denda 1 kali dari pajak kurang dibayar untuk pidana pajak kealpaan, 3 kali dari pajak kurang dibayar untuk pidana pajak kesengajaan, serta 4 kali dari pajak kurang dibayar untuk pidana pajak pembuatan faktur pajak/bukti potong PPh fiktif.
Dalam hal ini, apabila penyidikan dihentikan maka aset yang sudah ditelusuri, disita, bahkan sudah diperoleh melalui kerja sama, otomatis dikembalikan kepada tersangka sebelum bisa dirampas atas putusan pengadilan. Hal ini jelas menimbulkan kegagalan dalam upaya perampasan aset tindak pidana.
Padahal, sebelumnya penegak hukum sudah mengeluarkan effort yang lebih untuk melakukan penelusuran dan penyitaan aset sebagai upaya pemulihan aset. Oleh karena itu, harus ada pengaturan lebih lanjut mengenai akibat penghentian penyidikan pidana pajak terhadap aset tersangka yang sudah dilakukan pemulihan asset.
Hal ini dapat dilakukan dengan menentukan kriteria perkara pidana yang menggunakan pemulihan aset sejak awal penanganan. Antisipasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan aset yang telah disita penegak hukum sebagai sanksi administrasi pengganti dari penghentian penyidikan. Implikasi penghentian penyidikan tersebut harus diatasi dalam revisi UU KUP pada masa mendatang.
Kedua, kedudukan PPNS DJP dan kepolisian dalam penyidikan pidana pajak. Sekalipun diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan pidana pajak maupun TPPU, berdasarkan pada Pasal 7 ayat (2) KUHAP, PPNS DJP perlu berkoordinasi dengan kepolisian.
Keterlibatan kepolisian tentu dapat membantu efektivitas proses penegakan hukum pidana pajak. Hal itu dikarenakan PPNS DJP tidak diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana pajak. Namun demikian, terdapat tantangan, khususnya dalam menjamin tidak adanya hambatan yang disebabkan oleh birokrasi yang berjenjang untuk setiap tahapan penanganan ataupun upaya paksa yang dilakukan PPNS DJP.
Ketiga, ketiadaan pengaturan korporasi sebagai subjek pidana pajak. Perubahan UU KUP dalam UU HPP tidak mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana, tetapi hanya disebut setiap orang. Padahal, korporasi memiliki kemungkinan melakukan modus perencanaan pajak yang canggih, tidak konvensional, dan melibatkan nilai yang besar.
Selain itu, apabila membandingkan dengan tindak pidana ekonomi lain, seperti korupsi, TPPU, dan tindak pidana lingkungan hidup, korporasi sudah diatur sebagai penanggung jawab pidana. Sebagai contoh, Pasal 1 angka 9 UU TPPU menegaskan bahwa korporasi merupakan bagian dari 'setiap orang'.
Terlebih, sudah ada Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 (PERMA 13/2016) yang mengatur pemidanaan kepada korporasi. Dalam PERMA 13/2016, terdapat 3 parameter korporasi dinyatakan bertanggungjawab atas kesalahan pidana. Yakni, korporasi memperoleh keuntungan dari tindak pidana, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana, dan/atau korporasi tidak melakukan pencegahan tindak pidana.
Lebih lanjut, korporasi juga memiliki kapasitas keuangan yang lebih tinggi dibanding individu. Artinya, kemampuan untuk membayar sanksi denda pada pendapatan negara akibat kesalahan pidana yang dilakukannya dapat dipenuhi secara optimal oleh korporasi.
Oleh sebab itu, arah pemulihan aset pidana pajak seharusnya juga menyasar pada korporasi, baik dari segi penekanan subjek pidana, ancaman hukuman, maupun terkait dengan kewenangan PPNS DJP untuk menyidik pidana pajak sebagai TPPU. (kaw)