Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menegaskan penjualan aset kripto akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) dengan tarif 0,1% dari nilai transaksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 68/2022.
Penyuluh Pajak KPP Madya Surabaya Cak Imin menjelaskan transaksi aset kripto yang dilakukan melalui sarana elektronik atau disediakan oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) merupakan objek pajak penghasilan.
“Tarif 0,1% jika exchanger sudah terdaftar di Bappebti [Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi]. Namun, jika belum, tarifnya 2 kali lebih tinggi yaitu 0,2%,” katanya dalam Instagram Live @pajakmadyasby, dikutip pada Senin (14/11/2022).
Merujuk Pasal 19 PMK 68/2022, PPh Pasal 22 tersebut dikenakan atas penghasilan yang diterima dari penjual aset kripto, penyelenggara PMSE, atau penambang aset kripto. Penghasilan yang dikenakan dapat berupa pembayaran mata uang fiat atau swap dengan aset kripto lainnya.
“Jika penghasilan diterima dalam mata uang selain rupiah maka harus dikonversikan terlebih dahulu menggunakan KMK yang berlaku,” jelas Cak Imin.
Dia menambahkan PPh tersebut bersifat final sehingga tidak dapat dilakukan pengkreditan. Lebih lanjut, penyelenggara PMSE sebagai pemungut wajib membuat dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan unifikasi.
Penyelenggara PMSE wajib menyetorkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya serta menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Terdapat 3 penyelenggara PMSE yang tidak wajib memungut PPh Pasal 22 aset kripto. Pertama, hanya memberikan layanan dompet elektronik (e-wallet). Kedua, hanya mempertemukan penjual aset kripto dan pembeli aset kripto. Ketiga, tidak memfasilitasi transaksi perdagangan aset kripto.
“Untuk orang pribadi tidak akan dikenakan PPh Pasal 21 lagi karena sudah dikenakan PPh Pasal 22 final,” tutur Cak Imin. Simak 'Pegang Uang Publik, Exchanger Kripto Diminta Segera Daftar ke Bappebti' (Fikri/rig)