KEBIJAKAN PAJAK

Konsolidasi Fiskal Dibutuhkan, Begini Penjelasan Dirjen Pajak

Muhamad Wildan
Senin, 10 Mei 2021 | 17.48 WIB
Konsolidasi Fiskal Dibutuhkan, Begini Penjelasan Dirjen Pajak

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Konsolidasi fiskal dibutuhkan untuk menciptakan keberlanjutan APBN jangka menengah hingga panjang.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan pada masa pandemi Covid-19, ada kebutuhan pengeluaran (belanja negara) yang meningkat. Pada saat bersamaan, penerimaan negara mengalami penurunan. Khusus untuk penerimaan perpajakan, ada dampak dari perlambatan ekonomi.

“Realisasi penerimaan perpajakan lebih rendah sebagai dampak perlambatan ekonomi dan pemanfaatan stimulus oleh dunia usaha,” ujarnya, Senin (10/5/2021).

Suryo mengatakan berdasarkan pada kondisi ekonomi global dan neraca keuangan pada saat ini, ada 3 kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, perlunya pendanaan yang cukup dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dan stimulus kegiatan masyarakat untuk mengakselarasi pertumbuhan ekonomi.

Kedua, perlunya reformasi jangka menengah dan panjang dalam kebijakan fiskal yang terfokus pada pengelolaan pendapatan dan belanja negara. Ketiga, dibutuhkannya alternatif lain untuk merespons ruang fiskal yang makin sempit.

Menurut Suryo, ada 3 tren konsolidasi fiskal global. Pertama, strategi konsolidasi fiskal untuk mengatasi isu ekonomi, seperti defisit, utang, ketimpangan, dan pengangguran. Kedua, utang global makin tinggi sehingga butuh pembiayaan berkelanjutan. Ketiga, kebijakan perpajakan untuk mengatasi masalah ketimpangan dan meningkatkan penerimaan pajak.

Suryo mengatakan konsolidasi fiskal perlu didukung dengan reformasi administrasi dan kebijakan perpajakan yang konsolidatif. Kemudian, perlu juga sistem perpajakan yang berkeadilan dan setara serta peningkatan kepatuhan sukarela. Pada saat yang bersamaan, defisit fiskal dikembalikan ke level 3% produk domestik bruto (PDB).

Terkait dengan PPN, Suryo menerangkan setidaknya terdapat 3 isu yang dirasa perlu untuk direspons guna meningkatkan ruang fiskal. Pertama, masih terdapat banyak barang dan jasa yang penyerahannya tidak dipungut PPN.

Kedua, C-efficiency ratio PPN Indonesia tercatat masih sekitar 60%. "C-efficiency itu artinya efektivitas pemungutan masih 0,6 atau 60% dari total yang seharusnya bisa dipungut," ujar Suryo.

Ketiga, rasio PPN, yakni perbandingan antara penerimaan PPN dan PDB, yang hanya tercatat sebesar 3,62%. Simak pula ‘Berbagai Opsi Perubahan Kebijakan PPN Dikaji, Ini Kata Dirjen Pajak’.

Menurutnya, peningkatan penerimaan PPN diperlukan mengingat PPN berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan. Pada tahun lalu, penerimaan pajak mencapai Rp1.070 triliun. Dari jumlah tersebut, PPN berkontribusi sebesar 41,9% atau mencapai Rp448,4 triliun. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.