Kontributor Modul Pengawasan Perpajakan Yayasan Pendidikan Kantor Pusat Ditjen Pajak (DJP) Agus Puji Priyono memaparkan materi dalam webinar series DDTC bertajuk “Perlakuan PPh atas Lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia”.
JAKARTA, DDTCNews – Perlakuan pajak penghasilan (PPh) atas lembaga pendidikan, terutama terkait dengan sisa lebih, tidak terlepas dari praktik yang kurang sesuai dengan ketentuan.
Kontributor Modul Pengawasan Perpajakan Yayasan Pendidikan Kantor Pusat Ditjen Pajak (DJP) Agus Puji Priyono mengungkapkan hal tersebut dalam webinar series DDTC bertajuk “Perlakuan PPh atas Lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia”. Dia menyebut setidaknya ada tujuh praktik yang sering ditemukan.
“Terdapat empat kata kunci yang membuat sisa lebih tidak dikenakan pajak yaitu, nirlaba, dalam bidang pendidikan atau litbang, telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, dan jangka waktu. Namun, terdapat tujuh praktik yang kami temukan di lapangan,” jelas Agus.
Agus selanjutnya memaparkan tujuh praktik tersebut. Pertama, banyak lembaga pendidikan tinggi yang melakukan kegiatan usaha. Terkait dengan hal ini, Agus merujuk pada hakikat definisi nirlaba dalam pendidikan tinggi yang pada intinya tidak untuk mencari laba.
Oleh karena itu, seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke perguruan tinggi. Kendati demikian, yayasan pendidikan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
Sementara itu, perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung dengan batasan harus melihat status masing-masing. Namun, PTN BH diarahkan membuat entitas terpisah karena sumber sisa lebihnya akan bercampur antara pendidikan dan unit usaha komersial (UUK).
Kedua, banyak lembaga pendidikan yang berada di bawah pengelolaan lembaga nonpendidikan. Misalnya, di bawah rumah sakit atau izin penyelenggaraannya berbentuk yayasan tetapi pengelolaan manajemen pendidikannya berbentuk perseroan terbatas.
Ketiga, penggunaan sisa lebih untuk nonpendidikan atau bukan untuk sarana prasarana secara fisik. Misalnya, untuk pembagian bonus dan insentif pegawai, perawatan atau perbaikan sarana dan prasarana yang seharusnya masuk biaya operasional, pengalihan sisa lebih ke lembaga pendidikan lain, atau perumahan dosen.
Keempat, ada pembagian laba terselubung. Misalnya, ada yang asetnya masih atas nama pendiri atau pembina, membayarkan sewa kepada pendiri, membayar jasa kepada pihak terafiliasi, dan ada pembayaran kepada pembina/pengawas tidak aktif serta pengurus terafiliasi.
Kelima, terjadi perubahan penggunaan sisa lebih untuk nonpendidikan setelah melewati jangka waktu empat tahun.Keenam, masalah administratif. Masih banyak pendidikan tinggi yang statusnya nonefektif atau tidak menyampaikan laporan penggunaan sisa lebih. Ketujuh, tidak mengoreksi sisa lebih komersial.
Terkait dengan temuan tersebut, Agus memberikan 3 rekomendasi. Pertama, pengelompokan subjek pajak badan untuk lembaga pendidikan tetap harus ada. Kedua, perluasan ruang lingkup objek pajak. Ketiga, penandatanganan berkas administrasi cukup kepada instansi yang membidanginya.
Webinar ini merupakan seri ke-13 dari 14 webinar yang diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-13 DDTC yang jatuh pada 20 Agustus. Webinar ini diselenggarakan bersama 15 perguruan tinggi dari 26 perguruan tinggi yang telah menandatangani kerja sama pendidikan dengan DDTC.
Bagi Anda yang tertarik untuk mengikuti webinar seri selanjutnya, informasi dan pendaftaran bisa dilihat dalam artikel ‘Sambut HUT ke-13, DDTC Gelar Free Webinar Series 14 Hari! Tertarik?'. (kaw)