Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) punya waktu hingga April 2025 untuk mengoptimalkan dan memperbaiki operasional coretax administration system. Wanti-wanti tersebut disampaikan oleh Komisi XI DPR kepada DJP dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang secara khusus membatas mengenai coretax.
Topik mengenai coretax ini memang cukup meramaikan media massa dalam sepekan terakhir.
Menyusul banyaknya masukan dan keluhan dari wajib pajak mengenai kendala pada coretax, Komisi XI lantas memanggil Dirjen Pajak Suryo Utomo untuk hadir di parlemen. Dalam RDP tersebut, akhirnya disepakati bahwa coretax system yang sudah berjalan sejak 1 Januari 2025 tetap dilanjutkan operasionalnya.
Hanya saja, paralel dengan coretax, sistem administrasi DJP yang lama, yakni SIDJP, kembali digunakan oleh wajib pajak. Artinya, coretax akan berjalan beriringan dengan sistem lama DJP, terutama e-faktur dan e-filing.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan penggunaan coretax system dan SIDJP sekaligus diharapkan mampu mengatasi berbagai kendala yang dihadapi wajib pajak pada coretax system. Selain itu, langkah ini juga untuk memastikan kendala pada coretax system tidak berdampak pada upaya penerimaan pajak.
"Direktorat Jenderal Pajak agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama sebagai, bahasanya antisipasi, dalam mitigasi implementasi coretax yang masih terus disempurnakan, agar tidak mengganggu kolektivitas penerimaan pajak," katanya.
Misbakhun pun menambahkan parlemen memberikan kesempatan kepada DJP untuk melakukan perbaikan sehingga penerapan coretax system tidak mengganggu penerimaan negara.
"Kami beri kesempatan sampai SPT selesai. Jangan sampai penerimaan negara terganggu gara-gara sistem IT," katanya.
Sementara itu, Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan coretax system memang dapat berjalan bersamaan dengan sistem yang lama. Dia mencontohkan DJP yang telah kembali membolehkan pengusaha kena pajak (PKP) berskala besar untuk membuat faktur pajak menggunakan e-faktur.
"Nanti yang dirasa perlu kita menggunakan sistem yang lama. Jadi rolling out-nya coretax tetap jalan, dan dicobai sesuatu yang harus kembali ke sistem lama kami jalankan," ujarnya.
Informasi mengenai coretax memang mendominasi pemberitaan perpajakan dalam sepekan terakhir. Namun, ada beberapa informasi lain yang juga menarik untuk diulas, termasuk mengenai kebijakan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah serta dampak efisiensi anggaran terhadap perekonomian Indonesia.
Komisi XI DPR meminta DJP untuk menyusun peta jalan atau roadmap penerapan coretax administration system.
Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun mengatakan pelaksanaan coretax sejauh ini masih menemui berbagai kendala. Menurutnya, DJP perlu menyusun roadmap terkait dengan penerapan coretax yang berbasis risiko paling rendah.
"Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyiapkan roadmap implementasi coretax berbasis risiko yang paling rendah dan mempermudah pelayanan terhadap wajib pajak. Pelayanan ini menjadi concern kita semua," katanya. (DDTCNews)
Seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) kini dapat membuat faktur pajak dengan menggunakan aplikasi e-faktur client desktop dan aplikasi e-faktur host-to-host (e-faktur dari Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan/PJAP).
Ketentuan tersebut tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-54/PJ/2025 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Tertentu. Langkah ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembuatan faktur pajak.
Kini ada 3 aplikasi pembuatan faktur pajak yang kini bisa digunakan. Ketiga saluran tersebut meliputi: saluran utama, yaitu coretax system; PJAP yang terintegrasi dengan coretax system; dan aplikasi e-faktur client desktop. Ketentuan tersebut berlaku sejak 12 Februari 2025. (DDTCNews)
PKP bisa menggunakan aplikasi e-faktur desktop hanya untuk pembuatan faktur pajak dan melakukan penggantian atas faktur pajak yang dibuat melalui aplikasi e-faktur desktop.
Dalam hal PKP hendak melakukan retur, membatalkan faktur pajak, ataupun melaporkan SPT Masa PPN, ketiganya hanya bisa dilakukan melalui coretax administration system.
"Retur, pembatalan faktur pajak, dan pelaporan SPT Masa PPN dibuat melalui coretax DJP," tulis DJP dalam pengumumannya. (DDTCNews)
Pemerintah telah menerbitkan PMK 10/2025 yang mengatur mengenai pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) dalam rangka stimulus ekonomi pada tahun ini.
Pasal 4 PMK 10/2025 memerinci kriteria pegawai yang dapat diberikan PPh Pasal 21 DTP. Salah satunya, memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang telah dipadankan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
"... [Pegawai] memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Induk Kependudukan yang diadministrasikan oleh Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta telah terintegrasi dengan sistem administrasi Ditjen Pajak (DJP)," bunyi Pasal 4 ayat (2) huruf a PMK 10/2025. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut langkah efisiensi belanja tidak akan secara otomatis menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Sri Mulyani mengatakan total belanja negara pada 2025 tidak berubah walaupun terdapat upaya efisiensi. Selain itu, dampak kepada pertumbuhan ekonomi juga sangat tergantung pada kebijakan realokasi atas belanja yang berhasil dihemat.
"Kalau realokasinya pada aktivitas yang menimbulkan multiplier effect yang sama atau bahkan lebih besar, dampak dari perekonomian akan jauh lebih baik," katanya. (DDTCNews) (sap)