Warga duduk di tepi pantai dengan latar belakang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Kota Cilegon, Banten, Sabtu (296/2024). Center for Research Energy and Clear Air (CREA) menyebut beban ekonomi akibat polusi dari aktivitas PLTU di Jawa Barat dan Banten mencapai Rp13,1 triliun dan menyebabkan sebanyak 1.263 kematian karena terdampak polusi. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Nilai transaksi perdagangan karbon di subsektor pembangkit listrik menyentuh Rp84,17 miliar pada sepanjang 2023. Angka tersebut merupakan hasil dari perdagangan 7,1 juta ton C02 ekuivalen.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menjelaskan perdagangan karbon di subsektor pembangkit listrik bertujuan untuk mengurangi dampak-dampak negatif bagi lingkungan, mendorong langkah-langkah efisiensi energi, dan meningkatkan peran pelaku usaha dalam melakukan mitigasi perubahan iklim.
"Dan juga tentunya mendorong transisi energi nasional, khususnya di sisi suplai energi," ujar Dadan dalam keterangan tertulis, dikutip pada Rabu (24/7/2024).
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun oleh Kementerian ESDM, potensi penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia bisa mencapai 100 juta ton CO2 ekuivalen pada 2030 nanti.
Upaya penurunan emisi gas rumah kaca, berdasarkan peta jalan, terbagi ke dalam 3 fase. Fase pertama pada 2023-2024, fase kedua 2025-2027, dan fase ketiga 2028-2030. Secara bertahap, pemerintah akan meningkatkan standar emisi karbon dioksida untuk pembangkit tenaga listrik, terutama yang berbasis tenaga uap atau menggunakan bahan bakar batu bara.
"Jadi makin ke sana nanti standarnya akan makin ditingkatkan, emisinya akan mengecil sehingga pada saatnya nanti diperlukan kombinasi antara perdagangan karbon dan juga offset," kata Dadan.
Lebih lanjut, Dadan menyebut bahwa perdagangan karbon akan diterapkan secara bertahap ke seluruh pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar fosil, baik yang terhubung ke jaringan PT. PLN (persero) maupun pembangkit di wilayah usaha non-PLN, serta pembangkit yang digunakan untuk kepentingan sendiri.
Pada 2023 lalu, Dadan mengatakan, terdapat 99 unit pembangkit listrik yang terhubung jaringan PLN dengan kapasitas yang lebih besar atau sama dengan 100 MW yang menjadi peserta perdagangan karbon. Sementara pada 2024 ini, jumlah peserta perdagangan karbon, menjadi 146 unit dengan adanya tambahan unit PLTU berkapasitas lebih besar atau sama dengan 25 MW.
"Dengan potensi penurunan emisi yang besar, kita bisa menyinergikan pemanfaatan energi bersih sekaligus dengan perdagangan karbonnya. Nanti terjadi win-win solution dari sisi penyediaan energi dan juga dari sisi penurunan emisi secara nasional," kata Dadan. (sap)