Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraannya dalam balutan pakaian adat Tanimbar, Maluku.
JAKARTA, DDTCNews - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyinggung kode panggilan 'Pak Lurah' yang sering disebut politikus ketika membicarakan kandidat capres dan cawapres.
Jokowi mengaku memang kerap mendengar kalimat 'belum ada arahan Pak Lurah' dalam perbincangan politik beberapa waktu terakhir. Belakangan, dia mengaku baru memahami bahwa panggilan Pak Lurah adalah kode untuk dirinya.
"Sesuai ketentuan undang-undang, yang menentukan capres dan cawapres itu adalah partai politik dan koalisi partai politik. Jadi, saya ingin mengatakan itu bukan wewenang saya, bukan wewenang Pak Lurah," katanya saat membacakan pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPD dan DPR RI, Rabu (16/8/2023).
Jokowi mengatakan saat ini sudah memasuki tahun politik. Jokowi menyebut suasana saat ini terasa mulai hangat-hangat kuku. Kalangan partai politik pun ramai membahas isu capres dan cawapres yang bakal maju pada Pemilu 2024.
Pada kesempatan ini, dia menegaskan presiden atau yang kini disebut dengan kode Pak Lurah tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan capres dan cawapres. Pasalnya, dia bukanlah seorang ketua umum partai politik atau ketua koalisi partai.
Meski demikian, Jokowi memahami nasib seorang presiden yang sering dijadikan paten-patenan, alibi, atau tameng dalam setiap dinamika politik. Walaupun belum memasuki masa kampanye, dia juga menjumpai fotonya yang bersanding dengan capres banyak terpasang hingga ke jalanan desa.
"Menurut saya juga enggak apa-apa, boleh-boleh saja," ujarnya.
Jokowi menambahkan posisi presiden tidak senyaman persepsi masyarakat karena ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Terlebih dengan adanya media sosial, semua hal bisa sampai kepada presiden, mulai dari masalah rakyat di pinggiran, kemarahan, ejekan, makian, sampai fitnahan.
Walaupun tidak keberatan, dia mengaku menyayangkan budaya santun dan budi pekerti luhur yang mulai hilang. Menurutnya, kebebasan dan demokrasi kini banyak digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah.
"Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia," imbuhnya. (sap)