Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arief Yanuar.
BADUNG, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) tengah mencermati negara-negara yang telah menerapkan pajak terhadap pelaku usaha di ranah digital. Instrumen pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi pintu masuk untuk mulai memajaki sektor usaha yang bergerak lintas yurisdiksi.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arief Yanuar mengatakan skema pungutan PPN atas transaksi ekonomi digital lintas yurisdiksi di sejumlah negara menjadi bahan pembelajaran. Pungutan di Australia dan Korea Selatan menjadi bahan kajian mendalam oleh otoritas pajak.
“Kita butuh format dan skemanya [pungutan PPN] seperti apa dari beberapa negara yang sudah menerapkan seperti Australia. Kita banyak belajar dari Australia akhir-akhir ini,” katanya dalam Media Gathering DJP di Bali, Rabu (31/7/2019).
Arif menjelaskan pungutan PPN atas transaksi digital lintas negara tidak kalah pelik dengan wacana pungutan pajak penghasilan (PPh). Kendala dari sisi kebijakan hingga faktor teknis menjadi tantangan dalam memungut PPN atas transaksi di ranah daring.
Dari sisi kebijakan misalnya, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mensyaratkan untuk bisa menyetor PPN, suatu badan usaha harus berstatus sebagai subjek pajak dalam negeri atau dalam format Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Aspek dasar ini, menurut Arif, menjadi tantangan pertama yang harus dijawab. Hal tersebut dikarenakan proses bisnis ekonomi digital tidak memerlukan kehadiran fisik untuk bisa mengeruk keuntungan di suatu negara.
“Secara regulasi sekarang di UU KUP, permasalahan pertama ada pada pemberian identitas kalau mereka [pelaku ekonomi digital] mau jadi penyetor PPN,” paparnya.
Selain itu, ada pula tantangan dari sisi teknis penerapakan kebijakan. Tata cara pelaporan dan penyetoran memerlukan formulasi kebijakan yang tepat. Kepastian hukum esolusi atas sengketa bagi pelaku usaha yang tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia juga menjadi tantangan.
Keseluruhan dinamika tersebut, sambung Arif, memerlukan pendekatan pajak yang komprehensif. Seluruh aspek dari hulu hingga hilir harus bisa dijawab dengan instrumen kebijakan yang tepat.
“Kita harus dulu mulai dari bagaimana pemberian identitas [NPWP], bagaimana tata cara mereka melakukan penyetoran dan penghitungan yang mungkin bisa melalui sistem. Kemudian, bagaimana kalau ada dispute sehingga mereka butuh suatu paket regulasi yang end-to-end,” jelasnya. (kaw)