KENDARAAN RAMAH LINGKUNGAN

Cukai Karbon & Jejak Karbon Diusulkan, Apa Itu?

Redaksi DDTCNews
Jumat, 22 Maret 2019 | 14.12 WIB
Cukai Karbon & Jejak Karbon Diusulkan, Apa Itu?

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Rencana perubahan skema pungutan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor dinilai tidak cukup untuk mendorong industri mobil rendah emisi atau Low Carbon  Emission Vehicle (LCEV). Perlu ada instrumen fiskal tambahan.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan rencana perubahan skema pungutan PPnBM itu tidak memengaruhi struktur industri di dalam negeri. Harga jual akhir ke konsumen untuk kendaraan rendah emisi tetap lebih tinggi dari kendaraan konvensional.

“Kami menyarankan tiga skema kebijakan fiskal. PPnBM tetap dipertahankan, tapi ditambah dengan cukai karbon dan cukai jejak karbon untuk impor mobil dari luar negeri,” katanya di Kantor KPBB, Kamis (21/3/2019).

Jika pemerintah serius mengubah struktur industri otomotif untuk mengarah kepada produk rendah emisi, menurutnya, perlu ada tambahan dua skema fiskal. Kedua skema tersebut berbentuk pungutan cukai yang mempunyai implikasi kepada harga jual.

Pertama, cukai karbon. Skema pungutan ini didasarkan kepada pemenuhan standar emisi gas buang. Ketika pemerintah mematok satu standar emisi maka pungutan cukai tinggal mengikuti hasil emsi yang dihasilkan dari kendaraan. Ketika tidak memenuhi standar emisi berdasarkan spesifikasi mesin maka pungutan cukai berlaku dan dibebankan terhadap harga jual.

Begitu juga sebaliknya, ketika produsen memenuhi kriteria standar emisi gas buang maka insentif fiskal diberlakukan. Ini akan menjadi faktor pengurang harga jual. Dengan demikian, harga jual kendaraan rendah emisi atau LCEV dapat ditekan lebih murah.

“Cukai karbon dengan skema tax feebate/tax rebate merupakan terobosan karena akan signifikan mendongrak harga jual kendaraan dengan karbon tinggi,” papar Ahmad.

Kedua, cukai jejak karbon atas kendaraan impor untuk melindungi industri dalam negeri. Menurutnya, pilihan kebijakan ini diperlukan karena negara lain di kawasan Asean sudah siap untuk memenuhi kapasitas produksi kendaraan rendah emisi.

Secara ringkas, dia itu menjelaskan bahwa pungutan cukai jejak karbon berlaku sebagai kompensasi emisi yang dihasilkan dari pengangutan barang dari negara asal produksi. Semakin jauh jarak negara produsen dengan negara importir maka cukai jejak karbon secara otomatis semakin besar.

“Adanya potensi shifting pasar dari kendaraan konvensional ke mobil ramah lingkungan  perlu diantisipasi. Cukai jejak karbon ini diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri karena Thailand sudah siap dari sisi kapasitas produksi dan teknologi untuk memproduksi itu [mobil LCEV],” imbuhnya. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.