Kerusakan pada lumbung biji-bijian akibat ledakan yang terjadi Selasa kemarin di kawasan pelabuhan Beirut, Lebanon, Sabtu (8/8/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah McKay/WSJ/djo
BEIRUT, DDTCNews—Pelaku usaha restoran di Lebanon menyatakan tidak akan menyetorkan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan tarif 11% kepada otoritas pajak seusai peristiwa ledakan di Beirut pekan lalu.
Salah satu pemilik restoran, Dany Chakour, mengatakan dirinya bersama beberapa restoran lain memilih untuk menyetorkan PPN kepada organisasi nonpemerintah yang membantu penanganan dan rehabilitasi pasca ledakan yang terjadi di Beirut pekan lalu.
"Kami memutuskan membantu lembaga nonpemerintah sejak terjadinya ledakan terus berada di lapangan dan memberikan bantuan kepada masyarakat. Yang pasti, kami tidak akan bayar pajak kepada pemerintah," ujar Chakour, dikutip Selasa (11/8/2020).
Chakour merupakan pemilik dari jaringan restoran Em Sherif yang memiliki empat kedai di Beirut dan mempekerjakaan 400 orang. Berdasarkan pengakuan Chakour, terdapat 12 pemilik restoran yang berkomitmen untuk tidak menyetorkan pajak kepada pemerintah.
Namun, Chakour akan tetap melaporkan SPT pada September. Namun, dalam SPT tersebut, uang pajak tersebut akan disalurkan kepada tujuh lembaga nonpemerintah termasuk Lebanese Red Cross dan Lebanese Food Bank.
Dia mengaku dirinya siap menghadapi risiko yang akan timbul akibat ketidakpatuhannya, termasuk diseret ke pengadilan oleh otoritas pajak dan dipaksa membayar pajak akibat langkah tersebut.
"Menurut saya, yang terpenting sekarang adalah membantu masyarakat," ujar Chakour dikutip dari bnnblomberg.
Seperti diketahui, ledakan besar terjadi pada 4 Agustus 2020 di pelabuhan di Beirut. Ledakan ini ditengarai terjadi akibat penimbunan amonium nitrat di dalam salah satu tempat penimbunan di pelabuhan tersebut.
Saat ini, diketahui terdapat 150 korban jiwa dan ribuan orang mengalami cedera baik ringan maupun berat akibat ledakan ini. Belum dapat dipastikan seberapa besar total kerugian ekonomi yang timbul dari kerusakan aset akibat ledakan ini.
Di sisi lain, Lebanon saat ini sedang mengalami krisis finansial yang paling parah dalam beberapa dekade terakhir seiring dengan adanya pandemi Covid-19. Kondisi tersebut juga sempat mendapatkan perhatian dari IMF. (rig)