Ilustrasi.
SEMARANG, DDTCNews - Pelaku usaha sedang menanti-nanti dirilisnya aturan turunan atau pelaksana dari UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Rasa penasaran para pengusaha ini disampaikan langsung oleh mereka dalam sosialisasi UU HPP yang digelar KPP Madya Semarang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Salah satu peserta sosialisasi, Beny, misalnya melempar pertanyaan kepada narasumber acara terkait barang yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Misalnya gula. Apakah gula termasuk dalam barang yang dibebaskan? Kemudian aturan pelaksanaan nya apakah telah terbit?" tanya Beny kepada pejabat KPP Madya Semarang yang hadir, dikutip dari siaran pers Ditjen Pajak, Senin (13/12/2021).
Merespons pertanyaan dari salah satu peserta, Penyuluh Pajak KPP Madya Semarang Wahyono menjelaskan bahwa fasilitas pembebasan PPN diberikan salah satunya terhadap barang kebutuhan pokok. "Nah, kriteria barang nya seperti apa, peraturan pelaksanaan seperti apa, masih kita tunggu," katanya.
Namun pada prinsipnya, Wahyono menambahkan. faktur pajak masukan tidak boleh dikreditkan ketika PPN dibebaskan. Kemudian, wajib pajak juga wajib membuat faktur pajak sebagai syarat administrasi.
Pertanyaan lain dilontarkan pengusaha lainnya, Aris. Perwakilan PT Roberta ini menanyakan ketentuan mengenai pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Merespons pertanyaan ini, lagi-lagi pihak KPP Madya Semarang meminta pengusaha menunggu ketentuan teknis melalui penerbitan aturan turunan UU HPP.
"Teknisnya, akan kami sampaikan segera," kata Wahyono.
Kemudian, ada juga pertanyaan dari pelaku usaha bernama Bambang Tri. Dia bertanya tentang ketentuan baru batas omzet UMKM yang tidak kena pajak. Seperti diketahui, UU HPP menetapkan threshold omzet tidak kena pajak WP OP UMKM hingga Rp500 juta. Bambang juga menanyakan apakah omzet dengan angka di atas Rp500 juta lantas dikenakan ketentuan yang berlaku selama ini.
"Jadi Rp500 juta digunakan oleh WP OP itu sesuai PP 23/2018, tarifnya 0,5%. Ketika lebih, anggap saja Rp600 juta maka omzet sampai dengan Rp500 juta tidak dikenakan pajak. [Hanya yang] Rp100 jutanya baru dikenakan PPh final. Semacam PTKP," jelas Fungsional Pemeriksa Pajak Galuh Ken Sandjaja.
Kepala Seksi Pelayanan KPP Madya Semarang Ratna Herawati dalam sambutannya menjelaskan bahwa UU HPP mengubah sejumlah aturan perundang-undangan yang selama ini berlaku seperti UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), dan Undang-Undang Cukai.
"Selain itu ada aturan baru yaitu program pengungkapan sukarela (PPS) dan pajak karbon. Pajak karbon itu untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara," katanya.
Otoritas pajak juga mengingatkan pengusaha bahwa masing-masing ketentuan yang berubah ataupun ketentuan baru punya masa pemberlakuan yang berbeda-beda. UU PPh misalnya mulai berlaku pada tahun pajak 2022. Selanjutnya, UU PPN berlaku mulai 1 April 2022, serta UU KUP dan UU Cukai berlaku mulai tanggal diundangkan.
"Undang-Undang sudah disahkan oleh Presiden [Jokowi], nomor 7 Tahun 2021, aturan teknisnya masih kita tunggu," imbuh Ken. (sap)