Para peserta dalam acara diskusi hukum dengan tema The Second Indonesian Tax Amnesty: A Necessity for Indonesia’s Economic Development? pada Minggu, 28 November 2021.
JAKARTA, DDTCNews - Asian Law Student Association Local Chapter Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan diskusi hukum dengan tema The Second Indonesian Tax Amnesty: A Necessity for Indonesia’s Economic Development? pada Minggu, 28 November 2021.
Asian Law Student Association (ALSA) Local Chapter Universitas Indonesia menyebutkan fasilitator dalam diskusi tersebut antara lain Senior Manager DDTC Ganda Christian Tobing dan Partner MIP Law Firm Tiur Henny Monica.
Ada 3 subtema yang didiskusikan peserta dari mahasiswa Fakultas Hukum UI. Pertama, implikasi Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kedua, ketidakikutsertaan wajib pajak badan dalam skema II PPS. Ketiga, kerentanan program PPS terhadap penindakan tindak pidana.
Dalam diskusi tersebut, Ganda mengurai berbagai hal mulai dari hasil program pengampunan pajak pada 2016—2017, tren penerimaan dan kepatuhan 2016—2020, dan hubungannya dengan PPS dalam UU Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP), serta perlunya agenda politik hukum pajak ke depan.
Selain itu, ia juga memaparkan berbagai perspektif pro dan kontra terhadap program pengampunan pajak, termasuk soal sistematika ketentuan PPS dalam UU HPP dan muatan materi aturan PPS dalam UU HPP.
Selanjutnya, perwakilan dari peserta dibagi ke dalam empat divisi dan menyampaikan pernyataan pembuka mengenai masing-masing subtema. Untuk subtema pertama, salah satu divisi menilai PPS diperlukan sebagai solusi untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Di lain pihak, divisi lainnya menyampaikan pendapat yang berbeda. Mereka menilai pemerintah seharusnya melakukan penegakan hukum setelah Tax Amnesty (TA) Jilid I, bukan malah memberikan pengampunan pajak kembali.
Perspektif tersebut didasarkan pada hasil perbandingan dengan program serupa di negara lain. Adanya pengampunan berulang-ulang berpotensi membuat ketidakpatuhan jangka panjang. Terlebih ada janji jika tidak akan ada lagi pengampunan pajak setelah TA 1.
Untuk subtema kedua, beberapa divisi menilai larangan wajib pajak badan mengikuti PPS skema II tidaklah tepat. Sebab, pembatasan peserta PPS dapat mengakibatkan PPS kurang maksimal sehingga tidak sesuai dengan tujuan peningkatan kepatuhan dan penerimaan dari PPS.
Namun, ada juga divisi lain yang setuju dengan larangan wajib pajak badan mengikuti PPS skema II. Alasannya, wajib pajak badan cenderung lebih patuh dan transparan. Terlebih, wajib pajak badan juga wajib menyelenggarakan pembukuan.
Selain itu, divisi tersebut juga memberikan tanggapan perihal ketentuan PPS terhadap wajib pajak badan peserta skema I PPS. Menurut mereka, tarif PPh final yang berlaku untuk wajib pajak badan peserta skema I PPS seharisnya sama dengan tarif PPh Badan secara umum, sehingga hanya sanksi administrasinya saja yang dihapuskan.
Untuk subtema ketiga, mayoritas divisi mengkhawatirkan kerentanan PPS terhadap penindakan tindak pidana. Mereka menilai screening harta yang akan dideklarasikan di PPS perlu dilakukan terlebih dahulu sehingga PPS tidak digunakan pelaku kejahatan untuk bebas dari hukuman pidana.
Sementara itu, divisi lainnya menyatakan UU HPP menjamin kerahasiaan data harta yang diungkapkan sehingga data tersebut tidak bisa digunakan sebagai dasar pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana. Dengan demikian, data dan informasi mengenai harta yang diungkapkan dalam PPS bukan merupakan bukti yang valid dalam penindakan tindak pidana.Â
Lebih lanjut, Ganda menilai perlunya membuka kembali Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 terkait dengan TA 1 untuk mengukur kesesuaian alasan-alasan dalam pertimbangan MK dengan situasi dan kondisi fiskal pasca-TA 1 serta objektif dari PPS.
Selain itu, lanjutnya, telaah jaminan kerahasiaan data dalam PPS dapat bercermin dari implementasi ketentuan serupa dalam TA 1. Menurutnya, bukti permulaan atau bukti sempurna dalam penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana tidak dapat didasarkan pada data atau informasi mengenai harta yang diungkapkan dalam PPS.
Oleh karena itu, Ganda menekankan pentingnya upaya untuk membangun sistem kepatuhan pajak jangka panjang sehingga terhindar dari godaan untuk mengadakan PPS berulang-ulang pada masa yang akan datang.
ALSA Local Chapter UI berada di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan merupakan salah satu dari 14 Cabang Lokal ALSA Indonesia. Pada 2014, ALSA Local Chapter UI ditunjuk sebagai sekretariat ALSA Internasional.
Tujuan ALSA Local Chapter UI adalah membantu anggota membangun karakter yang tercermin dalam pilar ALSA, yaitu berwawasan internasional, bertanggung jawab secara sosial, berkomitmen secara akademis, dan terampil secara hukum. (rig)