BERITA PAJAK HARI INI

Audit BPK: Pengawasan Ditjen Pajak Belum Optimal

Wahyu Budhi Prabowo
Selasa, 31 Oktober 2017 | 09.15 WIB
Audit BPK: Pengawasan Ditjen Pajak Belum Optimal

JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Selasa (31/10) kabar datang dari media masa yang mengatakan bahwa masih belum optimalnya kinerja pengawasan dan pemeriksaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak belum maksimal. Hal ini tergambar dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kinerja 2013-2016 dalam pengawasan dan pemeriksaan perpajakan.

Dari hasil audit tersebut, BPK menemukan 13 masalah di Ditjen Pajak. Hasil audit tersebut menungkapkan banyakk permasalahan di internal kantor pajak sehingga menyebabkan kurang optimalnya penerimaan pajak.

Audit BPK terhadap Ditjen Pajak ini memang mengacu pada Undang-Undang No 15/2006 tentang BPK dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama memastikan Ditjen Pajak menindaklanjuti temuan masalah dan rekomendasi BPK. Hasil tindak lanjut oleh Ditjen Pajak juga akan dilaporkan kembali kepada BPK.

Berita lainnya mengenai keharusan pemerintah untuk fokus mengejar WP yang tidak mau transparan. Berikut ulasan ringkas beritanya:

  • Pemerintah Harus Fokus Kejar WP yang tidak Mau Transparan
    Momentum reformasi pajak yang sudah terbangun dengan kesuksesan program pengampunan pajak perlu terus dijaga. Meski program tax amnesty sukses, Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo melihat belum semua pengusaha transparan dalam melaporkan seluruh kekayaan pada momen pengampunan tersebut. Menurut Kartika, mungkin hanya sekitar 10%-20% perusahaan yang sudah modern dalam pembukuan administrasi dan sudah melakukan pemotongan untuk pembayaran pajak secara elektronik. Dukungan itu didasari beberapa hal, antara lain kondisi penerimaan dan kepatuhan perpajakan yang masih sangat rendah sehingga mengakibatkan rasio pajak (tax ratio) Indonesia terendah di antara negara-negara ASEAN dan G-20.

  • Kemenkeu Berkeinginan Tingkatkan Rasio Pajak untuk Pembangunan
    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berkeinginan meningkatkan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah guna memenuhi kebutuhan pengeluaran pembangunan yang diproyeksikan meningkat dalam tiga hingga empat tahun ke depan. "Kami inginkan rasio pajak bisa berbalik arah dari yang selama ini turun dalam lima tahun terakhir. Kami punya pengeluaran pembangunan infrastruktur, perlindungan sosial, dan transfer ke daerah yang ini semua sumbernya dari pajak," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara, usai Seminar Reformasi Pajak di Jakarta, Senin. Suahasil mengatakan pemerintah saat ini berupaya melaksanakan reformasi di bidang sistem perpajakan yang mampu meningkatkan penerimaan pajak. Ia menjelaskan elemen dari perbaikan sistem perpajakan tersebut antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, bisnis proses, dan peraturan-peraturannya. Hasil yang diharapkan dari reformasi sistem perpajakan antara lain adanya tambahan penerimaan pajak sebesar kurang lebih dua hingga tiga persen dalam lima tahun, atau rasio pajak dapat mencapai lebih dari 13% PDB.
  • Kritik Faisal Basri Soal Target Pajak dan Kondisi Ekonomi
    Tahun ini target penerimaan pajak pemerintah adalah Rp 1.307,6 triliun, dan tahun depan akan dinaikkan menjadi Rp1.385,9 triliun. Target ini dinilai ketinggian. Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan target pajak yang telah dicanangkan pemerintah sangat tidak masuk akal. Target penerimaan pajak yang terlalu tinggi di tengah rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang terus turun, menunjukkan betapa lemahnya database perpajakan yang dimiliki pemerintah. Dari sisi neraca perdagangan, ekspor dan impor Indonesia juga masih menunjukkan penurunan terhadap PDB. Angka ekspor dan impor yang menurun tersebut juga menyumbang menurunnya basis pajak. Penerimaan pajak pun akhirnya terus berkurang seiring dengan memburuknya lingkungan strategis yang menjadi objek kena pajak tersebut. Meskipun pernah mencapai 107%, namun hal itu lebih dikarenakan adanya melonjaknya harga komoditas. Namun di dua tahun terakhir, penerimaan melorot hingga ke angka 82%. Bahkan di 2016, realisasi tanpa tax amnesty itu hanya 74%.
  • Menghitung Kontribusi Pajak Alexis Cs untuk Jakarta
    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi menutup kegiatan usaha hotel dan griya Alexis di Jakarta Utara. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta menyatakan tidak dapat memproses surat permohonan tanda daftar usaha pariwisata yang diajukan oleh PT Grand Ancol Hotel. Kontribusi pajak dari bisnis hotel sendiri menempati urutan kelima dan bisnis hiburan di peringkat ke-9 masing-masing mencapai Rp656,95 miliar dan Rp 3422,03 miliar. Meski sumbangsihnya tak sebesar pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor, namun pertumbuhan pajak hotel dan hiburan tidak bisa disepelekan. Pajak dari kegiatan hotel meningkat 40,3% pada kuartal II 2017, sedangkan pajak kegiatan hiburan melesat 45,6%. Lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pajak bumi dan bangunan, pajak rokok dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Secara keseluruhan, realisasi penerimaan pajak daerah mencapai Rp13,13 triliun pada kuartal II 2017 atau naik 37,29%. (Amu)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.