ANALISIS PAJAK

Urgensi Pengelolaan dan Kontrol Risiko Pajak Perusahaan

Redaksi DDTCNews
Senin, 15 Mei 2023 | 17.29 WIB
ddtc-loaderUrgensi Pengelolaan dan Kontrol Risiko Pajak Perusahaan
DDTC Consulting

KATA pajak sering kali terdengar ‘angker’. Banyak orang enggan berurusan langsung dengan pajak. Namun, pada era modern, rasa-rasanya sudah tidak mungkin lagi menghindar dari urusan pajak.

Bapak pendiri Amerika Serikat Benjamin Franklin, dalam suratnya yang terkenal untuk Jean-Baptiste Le Roy, bahkan menyatakan di dunia ini tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak. Pernyataan Benjamin Franklin tersebut tetap relevan hingga hari ini.

Terbukti, pendapatan terbesar negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, berasal dari pundi-pundi pajak. Akibatnya, ‘kebanyakan’ aspek kehidupan masyarakat tidak lepas dari pajak.

Hampir seluruh kegiatan seseorang, mulai dari mendapatkan penghasilan, berbelanja, sampai dengan memiliki harta, memuat pajak yang harus dibayar. Begitu pula dengan perusahaan. Berbagai aspek pajak harus menjadi perhatian mulai saat mendirikan, mengoperasikan, hingga menutup perusahaan.

Pertanyaannya, dalam struktur organisasi suatu perusahaan, kewajiban untuk memperhatikan pajak melekat pada siapa? Apakah hanya divisi atau departemen yang menaungi fungsi pajak perusahaan? Apakah tanggung jawab tersebut justru berada di tangan posisi strategis, seperti direksi atau komisaris, bahkan pemilik perusahaan (pemegang saham)?

Sisi Hukum Positif

DOGMA ‘no taxation without representation’ di Inggris dan ‘taxation without representation is robbery’ di Amerika Serikat merupakan konsep yang diterima secara universal.

Di Indonesia sendiri, dogma tersebut tercermin di dalam konstitusi, yakni Pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal tersebut mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Tata cara dan prosedur formal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan diatur di dalam UU KUP. Secara lugas, UU KUP menunjuk pengurus atau direksi sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap segala aspek perpajakan perusahaan.

Hal tersebut bisa dilihat dari bunyi ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 32 UU KUP. Pengertian pengurus sendiri adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

Orang tersebut umumnya adalah jajaran direksi, komisaris, dan/atau pemegang saham mayoritas/pengendali yang namanya tercantum di dalam akta pendirian perusahaan ataupun akta perubahannya. Pengecualian wakil perusahaan adalah pengurus perusahaan dalam situasi tertentu, seperti perusahaan dalam kondisi pailit, bubar, atau likuidasi.

Adapun menurut Pasal 32 ayat (2) UU KUP, pengurus selaku wakil perusahaan bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian diberikan jika dapat membuktikan dan meyakinkan direktur jenderal pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

Ketentuan itu dipertegas kembali dalam UU PPSP. Pengertian penanggung pajak disebutkan termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada bagian Penjelasan Umum UU PPSP dinyatakan secara eksplisit bahwa pengertian penanggung pajak meliputi juga komisaris, pemegang saham, dan pemilik modal.

Oleh karena itu, direksi, komisaris, dan pemilik perusahaan atau pemegang saham merupakan sasaran utama dari tindakan penagihan pajak apabila perusahaan memiliki kewajiban pajak yang tidak terselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam tindakan penagihan pajak aktif, wakil perusahaan selaku penanggung pajak bisa menghadapi pencekalan, penyitaan aset, pemblokiran rekening, dan/atau penyanderaan (gijzeling). Apabila sudah masuk ranah pidana pajak, tidak sedikit wakil perusahaan bahkan bisa berakhir di jeruji besi.

Banyak contoh-contoh kasus dari tindakan penagihan pajak aktif ataupun terkait pidana pajak sehubungan tanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas terlanggarnya kewajiban perusahaan atas pembayaran pajak terutang. Berita atas contoh-contoh kasus tersebut banyak ditemukan di berbagai sumber, termasuk pemberitaan DDTCNews.

Sisi Good Corporate Governance

PEMAHAMAN awam atau banyak pihak menekankan tanggung jawab sehubungan berbagai aspek pajak berada di pundak departemen atau divisi yang menjalankan peran utama sebagai fungsi pajak. Misal, divisi pajak perusahaan atau divisi keuangan perusahaan.

Petinggi perusahaan yang umumnya—menurut pemahaman awam—ditunjuk untuk memastikan jalannya fungsi pajak perusahaan hanya direksi yang membawahi divisi pajak atau divisi keuangan perusahaan tersebut. Sebut saja direktur keuangan.

Sering kali luput dari perhatian, faktanya tanggung jawab pajak perusahaan tidak hanya berada di pundak pihak-pihak tertentu di dalam struktur organisasi perusahaan. Tanggung jawab itu ada pada seluruh individu di dalam perusahaan.

Adapun individu yang dimaksud terutama jajaran dewan direksi, dewan komisaris, bahkan para pemegang saham. Sebenarnya fakta tersebut sudah terjawab dari uraian penjelasan UU KUP dan UU PPSP sebelumnya yang menunjukkan siapa sebenarnya wakil perusahaan dalam urusan pajak.

Fakta tersebut dapat lebih lugas dijelaskan melalui pemahaman konsep tata kelola perusahaan yang baik. Secara definisi, tata kelola perusahaan menyediakan kerangka kerja untuk menetapkan aturan tentang cara tujuan perusahaan ditetapkan dan dicapai serta menentukan cara kinerja perusahaan akan diukur (Alink dan Kommer, 2022).

Berdasarkan pada laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2015), terdapat enam prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Salah satu dari prinsip tersebut adalah tanggung jawab dewan direksi.

Menurut OECD, dewan direksi bertanggung jawab meninjau dan membimbing strategi perusahaan, rencana tindakan besar, kebijakan risiko, anggaran tahunan dan rencana bisnis. Dewan direksi juga menetapkan tujuan kinerja, memantau implementasi dan kinerja perusahaan, serta mengawasi pengeluaran modal besar, akuisisi, dan pelepasan aset.

Selain itu, dewan direksi juga memastikan integritas sistem akuntansi dan pelaporan keuangan perusahaan, termasuk fungsi auditor independen dan keberadaan sistem pengendalian yang tepat. Sistem pengendalian itu terutama pengendalian risiko, pengendalian keuangan dan operasional, serta kepatuhan terhadap hukum dan standar yang relevan.

Merujuk pada poin-poin tanggung jawab dewan direksi tersebut, bisa dilihat bahwa secara keseluruhan dan secara khusus, setiap poin tanggung jawab memiliki implikasi terkait dengan pajak di dalamnya.

Contohnya, tanggung jawab untuk mematuhi hukum dan standar yang relevan. Ini mencakup tidak hanya hukum dan standar akuntansi, tetapi juga hukum dan standar pajak (Russo dan Taha, 2022). Segala penghasilan, biaya, dan aktivitas-aktivitas perusahaan—termasuk aksi korporasi—tentu tidak lepas dari aspek dan implikasi pajak yang harus menjadi perhatian dari seluruh jajaran dewan direksi.

Selain karena memang setiap aspek kegiatan perusahaan memiliki implikasi pajak di dalamnya, perlu juga untuk memperhatikan risiko-risiko pajak yang melekat (Hartnett, 2008). Sebut saja jika perusahaan menghadapi sengketa pajak, tentu beban finansial yang harus dikeluarkan perusahaan tidak murah. Di beberapa kasus, suatu perusahaan bisa jatuh bangkrut.

Tidak berhenti di beban finansial, risiko sengketa berlarut yang memakan waktu juga perlu dipertimbangkan karena terdapat beban opportunity cost bagi jalannya bisnis perusahaan.

Bukan hanya risiko finansial dan waktu, perusahaan juga perlu memperhatikan risiko reputasi perusahaan. Pada kasus-kasus pidana pajak yang sampai menjerat direktur dan komisaris perusahaan sampai ke jeruji besi, para stakeholder terkait dari perusahaan berisiko memandang buruk citra perusahaan. Hal ini khususnya dari sisi tata kelola perusahaan. Akan muncul sindiran, “Bagaimana mungkin perusahaan yang menjalankan tata kelola yang baik bisa terjerat kasus pidana pajak?”

Perusahaan besar yang mempunyai nama familier di tengah masyarakat, memiliki standar tata kelola perusahaan yang dikenal baik, dan melantai di bursa saham pun masih belum juga luput dari kasus pidana pajak serta dapat ‘menghancurkan’ citra perusahaan secara instan.

Ketik saja ‘skandal pajak’, ‘suap pajak’, atau kata kunci sejenis pada mesin pencarian. Akan muncul contoh-contoh kasus yang melibatkan perusahaan besar di Indonesia. Tidak sedikit juga contoh kasus yang melibatkan perusahaan-perusahaan berskala global dan multinasional.

Risiko-risiko pajak tersebut timbul akibat keterlibatan dewan direksi dan pemegang saham sangat terbatas dalam pengelolaan strategi pajak suatu perusahaan (Owens, 2008). Artinya, para pengambil kebijakan strategis pada praktiknya hanya sedikit terlibat dalam mengelola strategi pajak suatu perusahaan.

Oleh karena itu, untuk menjaga marwah perusahaan dan seluruh pihak yang berada di dalamnya (risiko reputasi) serta mengantisipasi risiko-risiko lainnya—termasuk risiko finansial—seluruh jajaran petinggi perusahaan dan pemilik harus memegang peranan dan bertanggung jawab untuk menilai segala risiko terkait dengan strategi pajak perusahaan (Owens, 2008).

Tentu saja, para jajaran petinggi dan pemilik perusahaan tidak perlu memperhatikan pekerjaan rutin harian terkait dengan pajak. Namun, pengawasan kebijakan dan implementasinya serta pemantauan seharusnya menjadi perhatian mereka. Saat ini sudah bukan lagi masa yang meletakkan pajak menjadi masalah yang sulit dan dibiarkan penyelesaiannya hanya kepada fungsi pajak perusahaan.

Untuk itu, pajak sudah sepatutnya menjadi bagian dari tata kelola perusahaan. Bukti isu dan aspek pajak telah menjadi bagian dari tata kelola perusahaan umumnya ditunjukkan dengan adanya pengelolaan dan kontrol risiko yang terkait dengan pajak.

Kerangka pengendalian pajak atau tax control framework (TCF) harus diimplementasikan sebagai bagian dari kerangka kontrol bisnis perusahaan (Kale, 2022). Implementasi dari TCF dianggap sebagai indikasi ketekunan (diligence) dan itikad baik (good faith) dari perusahaan. Terdapat manfaat pajak secara langsung dan nonpajak secara tidak langsung (seperti terhindar dari dugaan tindak pidana pajak) atas adanya implementasi TCF tersebut bagi wajib pajak (Marhani, 2022).

Sebuah TCF berisi semua prosedur dalam perusahaan yang berhubungan dengan pajak. Sebuah TCF bisa relatif sederhana atau hanya memuat prosedur pengajuan laporan pajak yang relevan dan pembayaran pajak yang jatuh tempo. Namun, TCF bisa juga dibuat lebih komprehensif yang meliputi prosedur pada hubungan masyarakat atau pemasaran untuk membatasi risiko reputasi sebagai hasil dari kebijakan pajak.

Kesimpulan

Pajak telah berkembang menjadi topik yang melibatkan tidak hanya masalah hukum dan keuangan, tetapi juga masalah nonkeuangan. Diskusi pajak telah berkembang bersama dengan transparansi lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) PBB (Owens dan Pemberton, 2021).

Oleh karena itu, ruang rapat dewan direksi dan dewan komisaris, termasuk juga rapat umum pemegang saham, sudah sepatutnya aware terhadap isu-isu dan aspek pajak perusahaan.

Alasan yang mendasari hal tersebut adalah karena ketentuan peraturan perundang-undangan nyatanya mengamanatkan demikian kepada pihak-pihak yang secara hukum ‘ditunjuk’ sebagai wakil dari berjalannya hak dan kewajiban pajak. Selain itu, tata kelola perusahaan yang baik juga telah memasukkan unsur perpajakan sebagai bagian integral dari konsep good corporate governance.

Risiko-risiko yang membayangi perusahaan apabila tidak menjalankan hak dan kewajibannya secara benar bukan hanya berimbas terhadap finansial perusahaan. Lebih dari itu, ada ancaman pidana, bahkan reputasi yang dipertaruhkan.

Risiko-risiko tersebut tidak berhenti sampai dengan menyasar perusahaan sebagai suatu organisasi dan institusi, tetapi juga bisa secara tanggung renteng mencapai individu-individu yang dianggap memiliki wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

Siapa saja individu tersebut?  Tentu saja direksi, komisaris, bahkan pemilik perusahaan. Tanggung jawab pajak perusahaan tidak lagi semata-mata berada di tampuk direktur keuangan sebagai pihak yang membawahi divisi atau departemen pelaksana fungsi pajak.

Seluruh jajaran dewan direksi, dewan komisaris, bahkan pemilik perusahaan atau pemegang saham sudah harus aware dan memberikan perhatian penuh terhadap strategi dan implementasi pengelolaan pajak perusahaan. Sudah saatnya semua sadar dan melek pajak untuk keberlangsungan hidup perusahaan yang lebih sustainable.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.