MENGHADAPI COVID-19 DENGAN PAJAK DAERAH (3)

Studi: Hanya 14% Kabupaten dan Kota Pakai Instrumen Pajak

DDTC Fiscal Research and Advisory
Minggu, 03 Mei 2020 | 13.00 WIB
ddtc-loaderStudi:  Hanya 14% Kabupaten dan Kota Pakai Instrumen Pajak

DDTC Fiscal Research melakukan studi penggunaan instrumen pajak daerah dalam menghadapi dampak Covid-19 di Indonesia. Khusus di kabupaten/kota, relaksasi berupa pembebasan pajak paling banyak dipilih.

Studi dilakukan melalui pengamatan atas perubahan kebijakan pajak daerah yang ditemui dari berbagai situs resmi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan media hingga kurun waktu 30 April 2020.

Pada artikel sebelumnya telah dijabarkan mengenai pola umum relaksasi pajak daerah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan kebijakan pajak di tingkat provinsi. Kali, DDTC Fiscal Research akan membahas pola relaksasi pajak daerah di tingkat kabupaten/kota.

Saat ini, terdapat 11 jenis pajak di kabupaten/kota antara lain pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan.

Kemudian, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung wallet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Dari survei yang dilakukan, terdapat 71 dari 514 kabupaten/kota yang merilis relaksasi pajak daerah dalam menghadapi dampak Covid-19. Artinya, hanya 14% dari seluruh pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot) yang merespons melalui instrumen pajak.

Dari 71 kota/kabupaten, setidaknya terdapat 240 instrumen pajak daerah yang dilakukan. Dengan demikian, setiap pemkab/pemkot rata-rata merilis tiga jenis instrumen pajak yang bersifat relaksasi.

Bentuk respons yang paling banyak digunakan berupa pembebasan pajak (45%), diikuti dengan pemutihan denda atau sanksi keterlambatan pembayaran (19%) dan pengurangan pembayaran (13%).

Ditinjau dari jenisnya, relaksasi pajak yang dilakukan pemkab/pemkot paling banyak diterapkan pada pajak hotel (28%), pajak restoran (25%), dan pajak hiburan (17%). Hal ini tidak mengherankan mengingat sektor wisata, konsumsi, dan jasa menjadi sektor usaha paling terdampak Covid-19.

Apalagi dengan adanya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar PSBB dan gerakan social distancing yang semakin memukul sektor-sektor tersebut. Alhasil, Pemkab/Pemkot bergerak untuk menyelamatkan sektor usaha tersebut.


Sumber: diolah DDTC Fiscal Research berdasarkan data dan informasi dari OPD Pemerintah Daerah terkait dan berbagai media, per 30 April 2020.

Khusus untuk pajak restoran, hotel, dan hiburan, DDTC Fiscal Research menemukan bahwa insentif yang digunakan paling banyak digunakan untuk tiga pajak daerah tersebut berupa pembebasan dan pengurangan beban pajak.

Sebagai contoh, pajak restoran tidak dipungut selama periode 1 April hingga 31 Juli 2020 di Kabupaten Gunung Kidul. Lain halnya dengan Pemkab Garut yang memberikan diskon 25% atas tarif pajak hotel, restoran, dan hiburan.

Pembebasan pajak hotel, restoran, dan hiburan ternyata tidak hanya dilakukan di daerah yang erat dengan kegiatan wisata dan aktivitas leisure. Misal, Kabupaten Sorolangun (Jambi), dan Kabupaten Pulang Pisau (Kalimantan Tengah).

Beberapa daerah juga ‘berani’ memberikan relaksasi atas PBB-P2, padahal selama ini PBB-P2 merupakan sumber penerimaan utama yang relatif stabil bagi pemkab/pemkot. Relaksasi ini dapat ditemukan pada 24 kabupaten/kota.

Relaksasi yang diberlakukan pada PBB-P2 ini umumnya adalah penundaan pembayaran dan pemutihan/penghapusan denda. Contoh, Pemkot Pagar Alam dan Pemkot Madiun memperpanjang tenggat waktu pembayaran PBB-P2 hingga akhir tahun.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.