Slide paparan yang disampaikan Dosen Departemen Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Taufik Adiyanto dalam acara FGD Penelitian Peningkatan Sengketa Pajak pada Tingkat Peninjauan Kembali dan Peran Yurisprudensi, Senin (8/11/2021). (tangkapan layar Zoom)
JAKARTA, DDTCNews – Banyaknya jumlah sengketa pada tingkat peninjauan kembali (PK) perlu menjadi perhatian Mahkamah Agung (MA).
Dosen Departemen Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Taufik Adiyanto mengatakan sengketa memunculkan beban perkara yang besar, peningkatan disparitas antarputusan, serta permasalahan question of fact dan question of law pada sengketa di tingkat PK.
Taufik merekomendasikan adanya penerapan yurisprudensi dalam memutus sengketa pajak terkait dengan disparitas putusan tersebut. Menurutnya, hingga saat ini, belum ada yurisprudensi hukum pajak di Indonesia.
“Perlu disusun yurisprudensi kasus pajak sebagai salah satu sumber hukum pajak, yang berperan mengurangi beban sengketa pajak di MA sekaligus mendorong kepastian, efektivitas, dan keadilan perpajakan di Indonesia,” jelas Taufik dalam acara FGD Penelitian Peningkatan Sengketa Pajak pada Tingkat Peninjauan Kembali dan Peran Yurisprudensi, Senin (8/11/2021).
Penerapan yurisprudensi dalam memutus sengketa pajak, menurutnya, dapat menjamin kepastian dan keadilan hukum pajak. Adanya persamaan persepsi hakim atas suatu sengketa akan mewujudkan kepastian hukum sehingga mencegah terjadinya disparitas atau inkonsistensi putusan.
Selain itu, yurisprudensi juga dapat menjamin efektivitas hukum pajak karena wajib pajak dapat mengestimasi upaya hukum yang diajukannya. Alhasil, biaya perpajakan (cost of taxation) dapat minimal sehingga mendorong peradilan pajak berjalan efektif dan efisien.
Salah satu praktik penerapan yurisprudensi dalam penyelesaian sengketa pajak dilakukan Belanda. MA Belanda (Hoge Raad) berperan sebagai legislatif semu dari putusannya. Hoge Raad juga bertugas memastikan penerapan hukum pajak yang seragam dan menghindari disparitas.
Taufik mengatakan kompleksitas peraturan dinilai menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah sengketa pajak meningkat sampai dengan 15% setiap tahunnya. Selain itu, menurutnya, mekanisme keberatan juga kurang optimal. Selain itu, ada kebiasaan wajib pajak untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Pada 2020, jumlah keberatan yang disampaikan kepada dirjen pajak mencapai 22.456. Dari jumlah tersebut, 74% atau 16.634 sengketa diajukan upaya hukum banding. Sementara itu, pada tingkat PK mencapai 5.313 sengketa atau 32% dari jumlah sengketa banding. (rizki/rig)