Kasubdit Peraturan PPN Industri Ditjen Pajak (DJP) Wiwiek Widwijanti serta Kasubdit Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh Orang Pribadi DJP Heri Kuswanto.
JAKARTA, DDTCNews – Reformasi perpajakan perlu dilakukan untuk membangun sistem perpajakan yang lebih adil, sehat, efektif dan akuntabel. Terlebih, pandemi covid-19 telah memberikan tekanan yang hebat pada kondisi ekonomi negara.
Kasubdit Peraturan PPN Industri Ditjen Pajak (DJP) Wiwiek Widwijanti mengatakan hal tersebut dalam webinar bertajuk Kontroversi Rancangan PPN dan PPh dalam Reformasi Pajak. Terkait dengan PPN, Wiwiek menyebut reformasi perlu dilakukan, salah satunya karena tingginya tax expenditure dari PPN.
“Tax expenditure PPN paling tinggi dibandingkan jenis pajak lain karena banyaknya pengecualian dan pembebasan. Selain itu, pengecualian dan pembebasan juga menyebabkan distorsi pasar karena harga produk dalam negeri mahal akibat pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan,” jelas Wiwiek, Rabu (7/7/2021).
Selain restrukturisasi pengecualian dan fasilitas PPN, lanjut Wiwiek, ada dua materi perubahan PPN lain yang dimuat dalam RUU KUP. Materi tersebut yaitu terkait dengan pengenaan PPN multitarif dan pemberian kemudahan dan kesederhanaan PPN (PPN final).
Dalam kesempatan itu, hadir pula Kasubdit Peraturan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan PPh Orang Pribadi DJP Heri Kuswanto. Dia menguraikan 5 perubahan materi UU PPh yang dimuat dalam draf RUU KUP.
Pertama, pengaturan kembali fringe benefit tax. Perubahan ini dilakukan untuk lebih menciptakan keadilan. Pasalnya, lebih dari 50% tax expenditure atas natura cenderung dinikmati wajib pajak orang pribadi berpenghasilan tertinggi.
Kedua, penambahan tarif 35% untuk penghasilan kena pajak (PKP) di atas 5 miliar. Ketiga, penerapan alternatif minumum tax (AMT). Adapun AMT diterapkan untuk menangkal penghindaran pajak karena makin banyak wajib pajak badan yang menyatakan rugi secara terus-menerus tetapi masih bisa beroperasi.
Heri menjelaskan AMT menyasar wajib pajak badan yang melaporkan rugi atau PPh badan terutangnya kurang dari 1% penghasilan bruto. Namun, akan ada pengecualian salah satunya untuk wajib pajak yang secara natural kegiatan usahanya merugi. Simak ‘WP Badan Lapor Rugi Bakal Kena PPh Minimum 1% dari Omzet’.
Keempat, penyesuaian insentif WP UMKM dengan omzet ≤ 50M. Pasal 31E UU PPh akan dihapus lantaran insentif PPh UMKM telah diatur dalam PPh final UMKM. Selain itu, tarif PPh badan akan turun menjadi 20% pada 2022 sehingga Pasal 31E tidak lagi relevan.
Kelima, penerapan instrumen pencegahan penghindaran pajak (general anti-avoidance rule/GAAR. Adapun GAAR diterapkan untuk mempersempit celah penghindaran pajak yang makin canggih. Terkait dengan isu tax amnesty jilid II, Heri menegaskan yang ada dalam draf RUU KUP adalah program peningkatan kepatuhan wajib pajak, bukan tax amnesty.
Webinar ini diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam webinar ini, Managing Partner DDTC Darussalam juga hadir sebagai narasumber. Simak ‘Soal Pengurangan Pengecualian PPN, Ini Kata Pakar Pajak’. (kaw)