PAJAK INTERNASIONAL (6)

Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Darussalam
Kamis, 15 September 2016 | 04.30 WIB
ddtc-loaderBentuk Usaha Tetap (BUT)
Managing Partner DDTC

KONSEP BUT memiliki peran yang penting, mengingat pemajakan atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas negara hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut. Kecuali, perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara di mana laba usaha tersebut diperoleh (negara sumber penghasilan).

Hubungan erat yang dimaksud, terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Jadi, BUT merupakan ambang batas bagi negara sumber penghasilan untuk dapat mengenakan pajak atas laba dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh suatu perusahaan dari negara domisili.

Dalam OECD Model maupun UN Model telah diatur mengenai bentuk-bentuk BUT, yaitu dalam Pasal 5. Bentuk-bentuk BUT seperti yang diatur dalam OECD Model adalah:

  1. Bentuk Dasar (Basic Rule PE) yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3);
  2. Konstruksi (Construction PE) yang diatur Pasal 5 ayat 3; dan
  3. Keagenan (Agency PE) yang diatur dalam Pasal 5 ayat 5.

Sementara itu, berdasarkan UN Model, bentuk-bentuk BUT adalah:

  1. Bentuk Dasar (Basic Rule PE) yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3);
  2. Konstruksi (Construction PE) yang diatur Pasal 5 ayat 3 huruf a;
  3. Pemberian Jasa (Service PE) yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b;
  4. Keagenan (Agency PE) yang diatur dalam Pasal 5 ayat 5; dan
  5. Asuransi (Insurance PE) yang diatur dalam Pasal 5 ayat (6).

Dari bentuk-bentuk BUT di atas, dapat dilihat bahwa pengertian BUT yang dianut oleh UN Model lebih luas dari pada OECD Model. Hal ini dikarenakan UN Model dikembangkan untuk kepentingan negara-negara pengimpor modal (capital importing countries), sehingga dengan memperluas cakupan bentuk BUT maka kesempatan mengenakan pajak akan lebih besar lagi.

Walaupun terdapat tempat usaha tetap yang dapat membentuk BUT, suatu tempat usaha tetap tidak dapat dikatakan sebagai BUT sepanjang kegiatan yang dilakukan terbatas pada kegiatan-kegiatan yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (4) OECD Model dan UN Model.

Menurut Pasal 5 ayat (4) OECD Model, kegiatan-kegiatan tersebut adalah:

  1. Kegiatan menyimpan, memamerkan atau menyerahkan barang atau barang dagangan milik subjek pajak luar negeri yang terdapat di negara domisili;
  2. Kegiatan pembelian barang atau barang dagangan atau mengumpulkan informasi untuk keperluan perusahaan;
  3. Kegiatan pengurusan suatu barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan yang semata-mata ditujukan untuk diproses lebih lanjut oleh perusahaan lain;
  4. Kegiatan yang bersifat persiapan atau bersifat penunjang.

Sedikit berbeda dengan OECD Model, Pasal 5 ayat (4) UN Model mempersempit ruang lingkup kegiatan yang dikecualikan dari pembentukan BUT, yaitu dengan menghilangkan kegiatan penyerahan (delivery) dalam klausulnya. Dengan demikian, pengertian BUT menjadi lebih luas.

Selain menjelaskan bentuk-bentuk BUT serta pengecualiannya, OECD Model juga mencakup penjelasan mengenai BUT Subsidiary yang diatur dalam Pasal 5 ayat (7). Pasal tersebut menjelaskan bahwa anak perusahaan (yang merupakan entitas legal yang terpisah dari perusahaan induk) yang dikendalikan oleh suatu perusahaan induk tidak dapat serta merta dianggap sebagai BUT dari perusahaan induk.

Isu lainnya, penambahan kriteria pembentukan BUT (nexus) melalui kehadiran digital yang signifikan (significant digital presence) atau disebut dengan BUT Virtual. Rekomendasi ini disarankan dalam Rencana Aksi Nomor 1 dari proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.