MEKANISME pemotongan-pemungutan pajak atau yang populer disebut dengan withholding tax (WHT) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pajak penghasilan suatu negara. Secara konseptual, WHT ini merupakan mekanisme pembayaran angsuran atas pajak penghasilan yang terutang dalam suatu tahun pajak.
Dalam perjalanannya, mekanisme WHT ini menghasilkan penerimaan pajak secara otomatis dalam jumlah yang besar dan tidak memerlukan upaya yang besar (Leon Yudkin, 1971). Akhirnya, mekanisme WHT ini dipergunakan untuk mengamankan penerimaan negara dengan mengurangi ketidakpatuhan wajib pajak dengan cara yang efisien bagi pemerintah (Martinez-Vazquez et. al.,1992).
Di banyak negara, secara tradisional mekanisme WHT dirancang untuk penghasilan yang bersifat pasif, terutama hanya untuk penghasilan bunga, gaji, dan dividen (Victor Thuronyi, 2003). Relatif mudahnya optimalisasi penerimaan pajak dari WHT kerap menyebabkan adanya dorongan bagi suatu pemerintah untuk terus mempertahankan bahkan memperluas objek serta menaikkan tarif WHT tersebut (Shome, Aggrawal, dan Singh, 2007).
Penerapan WHT di Indonesia
Ditinjau dari sejarahnya, mekanisme WHT di Indonesia sudah diperkenalkan sejak awal Orde Baru melalui tatacara pemungutan melalui Menghitung Pajak Orang (MPO). Pada mulanya, objek penghasilan yang dipungut melalui mekanisme WHT diatur hanya untuk jenis penghasilan yang bersifat pasif (passive income) seperti bunga, dividen, dan royalti serta penghasilan sehubungan dengan gaji atau upah.
Mekanisme WHT dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam UU PPh, salah satunya adalah PPh Pasal 23. PPh Pasal 23 pada dasarnya bukanlah merupakan jenis pajak penghasilan, melainkan hanya mekanisme pelunasan PPh yang terutang dalam tahun berjalan. Mekanismenya dilakukan melalui pemotongan oleh wajib pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak yang menerima penghasilan. Serta, menyetorkan pemotongan tersebut kepada kas negara dan mengadministrasikannya dalam pembukuan wajib pajak.
PPh Pasal 23 ini diterapkan atas penghasilan yang bersifat pasif (passive income) yang berasal dari bunga, dividen, royalti, penghasilan sewa di luar yang telah dikenakan pajak final, maupun atas penghasilan yang bersifat aktif (active income) yaitu penghasilan dari kegiatan usaha.
Sejatinya, mekanisme WHT atas PPh Pasal 23 bisa dijustifikasi mengingat bahwa sektor pajak Indonesia masih berkutat dengan persoalan: (i) kepatuhan pajak yang rendah, (ii) tingginya shadow economy, serta (iii) keterbatasan informasi yang dimiliki oleh otoritas pajak. Akan tetapi, penerapan mekanisme WHT seringkali juga tidak bebas dari persoalan dan harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian.
Seiring dengan berjalannya waktu, mekanisme WHT atas PPh Pasal 23 yang berlaku di Indonesia terus mengalami perluasan. Terutama, terkait dengan objek jenis penghasilannya yang semakin banyak menyasar kepada jenis penghasilan yang bersifat aktif, yaitu penghasilan atas kegiatan usaha. Serta, perluasan dalam hal sifatnya (final maupun tidak final), tatacara pemotongan dan pelaporan, variasi besaran tarifnya, maupun persebaran aturannya. Secara umum, hal ini menciptakan ketidakmudahan bagi wajib pajak untuk memahami dan mengadministrasikannya dengan baik (Darussalam dan Septriadi, 2006).
Terkait dengan WHT atas PPh Pasal 23, khususnya yang dikenakan terhadap penghasilan dari kegiatan usaha, setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu menjadi catatan sebagai berikut:
Pertama, terkait dengan jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23.
Di Indonesia, diterapkan atas penghasilan yang bersifat pasif dan penghasilan usaha yang bersifat aktif. Pola ini berbeda dengan praktik di berbagai negara yang jarang mengenakan WHT atas jenis penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha (Shome, 2014). Alasannya, terdapat kesulitan untuk merancang tarif efektif WHT (tarif umum dikalikan perkiraan penghasilan neto) terhadap penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha (Leon Yudkin, 1971).
Seperti disebut di muka, mekanisme WHT bertujuan sebagai pembayaran angsuran pajak yang terutang. Mekanisme pembayaran angsuran yang adil bagi wajib pajak yang menerima penghasilan usaha yaitu bukan melalui mekanisme WHT. Tetapi, menurut Peter S. Griffith (1973), harus melalui mekanisme pembayaran angsuran pajak berdasarkan perkiraan (estimated tax payment system), yang di Indonesia dikenal dengan nama angsuran PPh Pasal 25
Dalam UU PPh, besaran tarif dibedakan antara penghasilan pasif dan penghasilan aktif dari kegiatan usaha. Untuk penghasilan pasif sebesar tarif umum (15%) dikalikan penghasilan bruto. Sedangkan untuk penghasilan aktif dari kegiatan usaha, dikenakan berdasarkan tarif efektif, yaitu tarif umum (15%) dikalikan perkiraan penghasilan neto.
Sebelum UU PPh Tahun 2008, pengenaan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dihitung dengan menggunakan tarif 15% atas perkiraan penghasilan neto sebagai dasar pengenaan pajak (DPP). Perkiraan penghasilan neto ditetapkan dalam nilai yang bervariasi. Akibatnya, tarif efektif atas jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 berada pada kisaran antara 1,5% hingga 6%.
Pertanyaannya, sejauh mana tarif efektif atas penghasilan kegiatan usaha tersebut merefleksikan kondisi yang sebenarnya dari wajib pajak? Tanpa adanya suatu perumusan yang cermat dan tinjauan ulang secara rutin, pengenaan tarif efektif tersebut dapat berakibat pada persoalan pajak yang kurang bayar dan pajak yang lebih bayar (Soos, 1991).
Dalam UU PPh Tahun 2008, persoalan tersebut coba diatasi melalui tarif tunggal dan relatif rendah yaitu sebesar 2% dengan DPP atas penghasilan bruto. Tarif yang rendah ini sejatinya merefleksikan suatu simpflikasi atas kerumitan yang bisa ditimbulkan di lapangan serta tren tarif efektif yang menurun dengan mempertimbangkan perkiraan penghasilan neto.
Kedua, adanya ‘godaan’ untuk memperluas objek penghasilan PPh Pasal 23.
Secara legalitas, upaya perluasan ini sejatinya dimungkinkan karena UU memberikan pendelegasian kewenangan untuk menentukan ‘penghasilan lainnya’ yang bisa dijadikan objek PPh Pasal 23. Saat ini, PPh Pasal 23 dikenakan dengan berdasarkan positive list.
Memang benar bahwa kebijakan dengan model positive list lebih rumit dalam perumusannya. Namun, justru akan memberikan kepastian hukum yang lebih baik dan membatasi pemungutan pajak yang excessive. Model negative list sebisa mungkin dihindari, terutama jika tidak terdapat justifikasi kebijakan yang jelas.
Pada praktiknya, ‘godaan’ untuk memperluas objek PPh Pasal 23 dapat terjadi apalagi dengan mengingat mudahnya pengumpulan pajak melalui mekanisme WHT serta tingginya target penerimaan pajak. Perilaku ini dimungkinkan karena tidak adanya dasar hukum yang jelas terkait dengan definisi atas penghasilan ‘jasa lain’ yang sering dipakai dalam memperluas objek PPh Pasal 23, baik dalam pembuatan aturan maupun interpretasi dalam praktik di lapangan.
Ketiga, menimbulkan biaya administrasi atau kepatuhan pajak yang tinggi bagi wajib pajak.
Bagi pemerintah, seperti dinyatakan oleh Leon Yudkin di atas, mekanisme WHT dirancang untuk menghasilkan penerimaan pajak secara ‘otomatis’ dan tanpa upaya yang besar. Wajib pajak diberi kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain. Dengan demikian, sistem ini menimbulkan beban administrasi tambahan bagi wajib pajak
Oleh Milanez (2017), beban ini disebut sebagai legal remittance responsibility yang dampaknya jarang sekali diukur. Dari studinya, Milanez menyimpulkan bahwa seringkali wajib pajak (terutama korporasi) memiliki biaya administrasi atau kepatuhan pajak yang tidak hanya berasal dari upaya wajib pajak tersebut untuk memenuhi kewajiban pajak dirinya sendiri (legal tax liability), namun juga biaya mengadministrasikan kewajiban pajak pihak lain.
Sampai sekarang, belum ada suatu penelitian resmi mengenai tingkat biaya kepatuhan sistem pajak Indonesia, terutama atas penerapan mekanisme WHT. Akan tetapi, statistik berikut mungkin bisa jadi catatan. Saat ini, kontribusi PPh yang dilunasi melalui mekanisme WHT terhadap total penerimaan pajak Indonesia mempunyai peran signifikan. Di 2017 saja, kontribusinya mencapai 31,9% dari total pajak dengan tren historis pertumbuhannya yang terus naik.
Di sisi lain, biaya pemungutan pajak (cost of collection) oleh otoritas pajak di Indonesia cukup rendah secara relatif jika dibandingkan dengan negara lain, yaitu antara 0,48% hingga 0,64% dari penerimaan pajak (OECD, 2015). Rendahnya biaya pemungutan pajak ini apakah terkait dengan tingginya biaya administrasi atau kepatuhan (cost of compliance) wajib pajak akibat mekanisme WHT? Ini bisa menjadi indikasi awal dan menarik untuk ditelisik lebih lanjut.
Keempat, terkait sanksi yang tidak proporsional.
Di Indonesia, beban untuk menjalankan kewajiban sebagai pihak pemotong (agen WHT) juga masih dibayang-bayangi ketakutan atas adanya sanksi yang sifatnya tidak proporsional. Sanksinya, membayar pokok pajak yang tidak atau kurang dipotong ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% perbulan paling lama 24 bulan. Padahal, pajak yang tidak atau kurang dipotong tersebut pada hakikatnya bukan beban pajak dari pihak pemotong, melainkan beban pajak dari pihak penerima penghasilan yang mempunyai kapasitas ekonomi untuk membayar pajak tersebut.
Selain itu, dalam penerapan mekanisme WHT yang kompleks, kemungkinan adanya kesalahan dalam mengartikan aturan (technical mistake) sangat mungkin terjadi (Saad, 2012). Sebagai contoh, salah mengklasifikasikan jenis penghasilan. Misal, penghasilan dari kegiatan usaha diklasifikasikan sebagai penghasilan pasif. Akibatnya, penghasilan kegiatan usaha tersebut yang seharusnya dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif lebih rendah (tarif efektif 2%), tetapi justru dikenakan dengan tarif lebih tinggi yang diperuntukkan untuk penghasilan pasif (15% dari penghasilan bruto)
Oleh karena itu, sebaiknya sanksi dibatasi kepada sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pemotongan pajak, terutama atas objek penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha. Hal ini untuk menjamin proportionality principle karena pihak pemotong bukan pihak yang memperoleh tambahan kemampuan ekonomis.
Menariknya, di negara lain justru terdapat upaya untuk memberikan kompensasi kepada agen WHT untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan dalam mengadministrasikan pajak pihak lain, misalkan seperti di Selandia Baru ataupun Inggris. Kompensasi tersebut bisa berupa suatu fasilitas atau pengurangan pajak yang dipungut (Shome, 2014).
Relevansi WHT dengan Sistem Self-Assement dan Keterbukaan Informasi
Lantas, apakah perluasan mekanisme WHT terhadap PPh Pasal 23 atas penghasilan dari kegiatan usaha masih relevan dan bisa dijustifikasi?
Pertama, perluasan WHT kurang relevan dengan sistem self-assessment.
Filosofi pemberlakuan mekanisme WHT di Indonesia tertera pada penjelasan mengenai pokok-pokok perubahan dari UU PPh 1994. Dari penjelasan tersebut ditemukan bahwa pemberlakuan mekanisme WHT merupakan suatu terobosan administrasi yang bertujuan untuk dua hal: (i) kepatuhan pajak dan (ii) menunjang sistem self-assessment melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien. Akan tetapi, saat ini mekanisme WHTyang seharusnya menjadi penunjang dari sistem self-asessment, justru memiliki peran yang dominan daripada sistem self-assessment itu sendiri. Lambat laun, perannya justru mengaburkan sistem self-asessment yang kita anut.
Lebih lanjut lagi, mekanisme WHT pada hakikatnya merupakan salah satu upaya otoritas pajak untuk mengumpulkan dan memanfaatkan data atau informasi yang lebih efektif dan efisien. Artinya, dari data atau informasi tersebut, otoritas pajak dapat menelusuri dan menjamin kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara self-assessment.
Kedua, perluasan WHT kurang relevan dengan semangat reformasi pajak dan sistem pajak yang modern. Pada dasarnya, mekanisme WHT dapat dimaklumi dalam konteks lanskap pajak yang sistem administrasi pajaknya belum modern dan belum terdapat aturan keterbukaan informasi. Partisipasi wajib pajak yang rendah, ketersediaan informasi atas profil WP yang terbatas, hingga tidak dimilikinya basis data dan teknologi informasi yang baik, mendorong adanya justifikasi mekanisme WHT yang luas.
Akan tetapi, dalam konteks Indonesia, adanya penggunaan teknologi informasi dalam administrasi pajak telah mempermudah integrasi informasi atas penghasilan dan profil wajib pajak. Apalagi dengan adanya akses informasi keuangan secara otomatis berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan serta adanya kerjasama permintaan data dari berbagai lembaga dan institusi dalam negeri.
Dengan demikian, justifikasi WHT dapat dibenarkan hanya atas penghasilan pasif, serta penghasilan aktif yang sifatnya hard-to-tax atau mempunyai risiko ketidakpatuhan. Ke depan, dengan memperhatikan beberapa catatan di atas, penerapan WHT atas penghasilan dari kegiatan usaha dapat pelan-pelan secara bertahap mulai dibatasi dengan tujuan menurunkan biaya administrasi atau kepatuhan wajib pajak.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.