Muhammad Olis,
OTONOMI daerah yang ditandai dengan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah menuntut daerah menentukan sumber penerimaan yang digali dan digunakan sendiri sesuai dengan kebutuhan. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi dimulainya desentralisasi fiskal.
Salah satu kendala dalam masalah itu adalah minimnya pemasukan pendapatan asli daerah (PAD). PAD yang rendah juga menyebabkan pemerintah daerah memiliki kebebasan yang rendah dalam mengelola keuangan daerah. Akibatnya, daerah bergantung pada transfer dana pemerintah pusat.
Lahirnya UU No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta aturan turunannya menjadi angin segar bagi daerah penghasil rokok. Sebab, PAD pemerintah provinsi dan kabupaten/kota bertambah seiring hadirnya pajak rokok sebagai salah satu amanat UU tersebut.
Setiap tahun kas daerah dikucuri pajak rokok 10% dari cukai rokok. Hal itu menjadi tambahan amunisi selain Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dari pemerintah pusat. Persoalannya, apakah bagi hasil pajak rokok dalam Pasal 94 ayat (1) huruf c UU No 28 Tahun 2009 sudah proporsional?
Regulasi itu membagi pajak rokok menjadi 2 bagian. Jatah provinsi 30%, bagian kabupaten/kota di provinsi itu 70%. Bagian kabupaten/kota ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan atau potensi antarkabupaten/kota, termasuk jumlah penduduk dan luas wilayah.
Sekilas, jika dilihat dari persentase, bagian untuk pemerintah provinsi lebih kecil, sedangkan jatah kabupaten/kota lebih besar. Padahal, kenyataan di lapangan justru malah sebaliknya. Sebagai contoh Kabupaten Kudus yang merupakan sentra industri rokok di Provinsi Jawa Tengah.
Pada 2020, sumbangan ke kas negara dari sektor cukai rokok yang dikelola KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus sebesar Rp33,25 triliun. Dari jumlah tersebut, maka pajak rokok adalah 10% dari cukai rokok atau sebesar Rp3,3 triliun.
Jika bagian Pemprov Jateng adalah 30 %, maka nominal yang diperoleh sekitar Rp1 triliun. Sisanya sebanyak 70% atau sekitar Rp2 triliun lebih dibagi untuk 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Lalu berapa bagian Kabupaten Kudus?
Berdasar data Badan Pengelolaan Pendapatan, Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Kudus, ternyata pada 2020 hanya kebagian Rp48,2 miliar, dan tahun-tahun sebelumnya lebih kecil lagi. Hal ini terjadi karena Kabupaten Kudus merupakan daerah dengan luas wilayah terkecil di Jateng.
Bagian pajak rokok Kabupaten Kudus kalah besar dibandingkan dengan tetangga seperti Kabupaten Pati, Demak atau Jepara yang lebih luas dengan lebih banyak penduduk. Selisih pajak rokok bagian provinsi dan Kudus atau kabupaten/kota lain tergolong besar, bahkan bisa lebih dari 10 kali lipat.
Padahal jika dirunut, alasan dikutipnya pajak rokok adalah untuk membatasi konsumsi rokok dan peredaran rokok ilegal, melindungi masyarakat dari dampak negatif rokok, peningkatan PAD untuk meningkatkan kemampuan daerah menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas.
Memaksimalkan Kemampuan
PERTANYAANNYA, bagaimana Kudus dan kabupaten/kota lain bisa memaksimalkan kemampuan daerah jika alokasi yang lebih besar justru diberikan pada pemerintah provinsi dan bukan pemerintah kabupaten/kota?
Alokasi ini terkait dengan pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum yang menjadi fokus pemanfaatan pajak rokok. Selain itu, menurut Permenkes Nomor 40 Tahun 2017, pajak rokok juga bisa digunakan untuk mendanai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Regulasi ini terasa sekali manfaatnya saat pandemi Covid-19 yang berjalan sekitar setahun dan belum jelas kapan berakhir. Selama pandemi, jumlah pengangguran melonjak seiring maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai lapangan pekerjaan, baik sektor formal maupun informal.
Pekerja yang semula di-cover BPJS perusahaan tempatnya bekerja kini harus berjibaku membayar sendiri iuran bulanan dirinya dan keluarga. Jika kondisi kian berat, keluar dari kepesertaan BPJS merupakan opsi yang paling masuk akal.
Pajak rokok bisa tampil menjadi penyelamat. Logikanya, jika dana bagi hasil pajak rokok besar, maka otomatis anggaran yang diplot pemerintah kabupaten/kota untuk mendanai BPJS pekerja korban pandemi Covid-19 juga lebih memadai.
Berpijak dari realitas di atas, Pasal 94 ayat (1) huruf c UU Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur alokasi jatah provinsi dan kabupaten dari pajak rokok layak direvisi. Idealnya bisa dibuat lebih proporsional, dan revisi ini sangat beralasan.
Hingga kini, mayoritas daerah termasuk Kabupaten Kudus masih bergantung pada alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat, baik dana transfer ke daerah maupun dana desa. Optimalisasi pajak rokok ini akan menjadi trigger untuk mewujudkan kemandirian daerah.
Di sisi lain, jika melihat pemanfaatan pajak rokok yang sudah berjalan, terkesan adanya tumpang tindih antara provinsi dan kabupaten/kota. Contohnya, jika pemprov melakukan penegakan hukum, maka wilayah atau sasarannya beririsan dengan kawasan kabupaten/kota tertentu.
Dari sisi efektivitas, pemanfaatannya untuk layanan kesehatan juga layak dipertanyakan. Jika pajak rokok diwujudkan pengadaan alat kesehatan yang ditempatkan di rumah sakit yang dikelola provinsi, persoalan waktu tempuh dan jarak yang terlalu jauh menjadi kendala tersendiri bagi warga.
Karena itu, pembagian hasil pajak rokok yang lebih proporsional antara provinsi dan kabupaten/kota menjadi kunci penting. Revisi Pasal 94 ayat (1) huruf c UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah jalan pembuka agar otonomi daerah bisa dioptimalkan dan bermanfaat untuk masyarakat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.