Yacob Yahya,
USAHA mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan penggerak roda perekonomian yang memperoleh tempat khusus di mata pemerintah, siapa pun pemimpinnya — bukan berarti 'diistimewakan' dengan makna negatif. Pemerintah, dari masa ke masa, berkomitmen penuh menyokong pelaku industri yang kerap disebut sektor informal ini. Berbagai kemudahan disediakan, termasuk instrumen kebijakan perpajakan.
Menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013). Beleid ini merupakan inovasi yang memudahkan para pelaku UMKM agar berkontribusi membayar pajak.
Cukup kalikan omzet atau peredaran kotor dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 1%, wajib pajak UMKM tidak perlu ribet menghitung besaran pajak yang harus disetor. Selain itu, karena bersifat final, pelaporannya pun lebih mudah. Final artinya telah tuntas penghitungan dan pembayarannya, tanpa perlu diperhitungkan kredit pajaknya pada saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Tahunan kelak.
Selang 5 tahun kemudian, pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah mengorting tarif PPh final untuk UMKM menjadi 0,5%, melalui PP 23/2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Belakangan —pascaterbit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), khususnya klaster PPh— PP 23/2018 direvisi dengan PP 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
PP 55/2022 ini mengatur batas waktu penerapan tarif final UMKM 0,5% tersebut: 7 tahun untuk orang pribadi; 4 tahun untuk badan berbentuk koperasi, CV, firma, badan usaha milik desa, dan perseroan perorangan; serta 3 tahun untuk badan berbentuk perseroan terbatas. Selanjutnya, wajib pajak UMKM dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan atau melakukan pencatatan dengan menerapkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), sesuai dengan ketentuan.
Kabar gembiranya, berdasarkan UU HPP serta PP 55/2022 sebagai aturan turunan, UMKM orang pribadi dapat menikmati penghasilan bruto tidak kena pajak sampai dengan Rp500 juta.
Selain kebijakan di atas, pemerintah juga melindungi UMKM dari hantaman pandemi Covid-19, pada 2020 lalu. Pemerintah menerbitkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), di antaranya dengan memberikan fasilitas PPh final PP 23/2018 ditanggung pemerintah (DTP).
Kondisi perekonomian 2025 diproyeksikan masih menghadapi tantangan di tingkat global. Temperatur geopolitik masih demam tinggi, perubahan iklim semakin nyata, demografi mengalami penuaan di berbagai negara maju, perkembangan teknologi kian pesat, serta penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) makin gencar. Faktor tersebut membuat wajah perekonomian dunia mengalami dinamika yang intens di tengah ketidakpastian.
Kementerian Keuangan berkomitmen untuk menjaga masa transisi pemerintahan ini dengan tetap mewujudkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kredibel, akuntabel, sehat, dan berkelanjutan agar mampu senantiasa menjadi instrumen yang andal guna merespons tantangan dan dinamika. Menariknya, salah satu jurus pengelolaan uang negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 adalah pemberdayaan UMKM. RAPBN 2025 cukup spesial karena menjadi penentu masa transformasi agar berjalan dengan efisien dan efektif.
Lantas, bagaimana arah kebijakan perpajakan UMKM di era pasangan terpilih Prabowo-Gibran? Saat mendaftarkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum tahun lalu, duet Prabowo-Gibran menyampaikan dokumen 'Visi dan 8 Misi Asta Cita. Visi: Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045'.
Dari 17 program prioritas, Prabowo-Gibran mengikutsertakan pajak dan UMKM, yakni pada program penyempurnaan sistem penerimaan negara dan melanjutkan pemerataan ekonomi dan penguatan UMKM melalui program kredit usaha dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) serta kota-kota inovatif karakteristik-mandiri lainnya.
Program lainnya yang beririsan dengan pemberdayaan UMKM antara lain pelestarian seni budaya, peningkatan ekonomi kreatif dan peningkatan prestasi olahraga. Hal ini lantaran sudah banyak para pelaku UMKM yang memanfaatkan teknologi digital dalam memasarkan produknya. Tak jarang, mereka juga para pelaku ekonomi kreatif.
Akhir-akhir ini marak aspirasi yang menyuarakan bahwa tarif PPh final 0,5% bagi UMKM orang pribadi perlu diperpanjang, mengingat masa berlaku 7 tahun segera selesai bagi yang sudah memanfaatkannya sejak 2018. Mulai 2025, para pelaku UMKM orang pribadi harus dikenai PPh Pasal 17.
Sebenarnya ada alasan kuat mengapa PP 55/2022 mengatur batas waktu penerapan PPh final 0,5% bagi UMKM. Tentunya, supaya UMKM 'naik kelas'. Menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM, sektor ini berkontribusi 60,5% terhadap Produk Domestik Bruto. Dengan angka PDB 2023 yang senilai Rp20.892,4 triliun (Badan Pusat Statistik), artinya, hampir Rp12.640 triliun PDB ditopang oleh UMKM. Dengan tarif final 0,5% saat ini, potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM masih memiliki ruang luas untuk peningkatan.
Tentu keputusan apakah akan memperpanjang masa pengenaan PPh final 0,5%, atau tetap menjalankan PP 23/2018 jo. PP 55/2022 ada sepenuhnya di tangan pemerintahan baru, dan kita harus menghormati hal itu. Dengan menyerap aspirasi pelaku usaha serta mempertimbangkan berbagai hal, menarik kita tunggu kebijakan perpajakan UMKM dari pemerintahan baru ini.
Tentunya kita berharap pemerintahan baru istikamah memfasilitasi para pahlawan perekonomian kita ini, termasuk dengan instrumen kebijakan perpajakan yang menjunjung kesetaraan dan keadilan.
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. (sap)