OPINI PAJAK

Reformasi Pajak dalam Transisi Suksesi Pimpinan Nasional

Redaksi DDTCNews
Minggu, 29 September 2024 | 11.01 WIB
ddtc-loaderReformasi Pajak dalam Transisi Suksesi Pimpinan Nasional

Yeheskiel Minggus Tiranda,

Guru Besar Ilmu Hukum UNISSULA Semarang dan Chief of Change Management PSIAP s.d. 2022

MENTERI keuangan telah melaporkan kepada presiden tentang kesiapan implementasi pembaruan sistem inti administrasi pajak (PSIAP) atau new coretax administration system (CTAS) yang selama beberapa tahun ini dibangun di Ditjen Pajak (DJP).

PSIAP akan menjadi era baru dalam layanan perpajakan yang mengusung pengintegrasian seluruh proses bisnis inti (coretax) administrasi pajak di Indonesia. Cakupannya mulai dari proses bisnis kelompok pelayanan, pengawasan, hingga penegakan hukum. Keseluruhannya, ada 20 proses bisnis. Kemudian, ada tambahan 1 proses bisnis knowledge management yang juga akan diintegrasikan.

Sementara itu, proses bisnis non-core akan disesuaikan mengikuti arah desain PSIAP. Berdasarkan pada skema ini, cakupan pembaruan sistem administrasi pajak (PSAP) menjadi komprehensif, terstruktur dan terintegrasi. Area cakupannya akan meliputi regulasi, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, serta sumber daya manusia (SDM) dan organisasi.

Framework menyeluruh seperti model tersebut diyakini akan menjadi solusi efektif untuk menghadapi tantangan tax ratio. Seperti diketahui, performa tax ratio Indonesia hingga saat ini belum cukup meyakinkan dalam menjamin keberlangsungan pembiayaan pembangunan yang juga bergerak makin kompleks.

Inisiatif PSAP sebagai bagian dari reformasi administrasi pajak hanyalah satu sisi dari keseluruhan reformasi pajak. Di sisi lain, kebijakan pajak (tax policy) juga secara paralel diperbaiki. Baik administrasi pajak maupun kebijakan pajak, merupakan komponen utama dalam menjaga keberlanjutan sistem perpajakan untuk memastikan optimalnya kinerja penerimaan.

Oleh karena itu, siapa pun pemimpin nasionalnya, kesinambungan reformasi pajak harus tetap dijaga. Transisi demokrasi dalam setiap suksesi kepemimpinan nasional merupakan fase krusial yang perlu dipersiapkan secara matang.

Presiden Jokowi memulai transisinya dengan meluncurkan program tax amnesty pada 2015 dan akan mengakhiri masa jabatannya dengan mengimplementasikan PSIAP pada penghujung 2024. Dalam sejarahnya, pada periode demokrasi sebelumnya, suksesi kepemimpinan nasional juga telah memberi banyak warna dalam dinamika politik hukum pajak di Indonesia.

Kini, saatnya kita menatap dan menghadapi perjalanan lima tahun ke depan. Hal ini tentu tidak akan terlepas dari visi pemerintahan presiden terpilih Prabowo. Dalam dokumen program hasil cepatnya, Prabowo menetapkan target tax ratio yang cukup tinggi dengan prasyarat pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Artinya, tax ratio dan BPN diletakkan dalam relasi ‘saling memengaruhi’.

Saat ini, sudah riset-riset ilmiah yang perlu untuk dijadikan bahan pertimbangan. Namun, sejatinya banyak riset ilmiah yang belum secara tuntas menjelaskan sifat hubungan antara tax ratio dan bentuk sebuah institusi pajak. Apakah keduanya terikat dalam relasi ‘sebab akibat’ ataukah justru dalam relasi yang sifatnya hanya ‘saling memengaruhi’?

Tax Capacity

PADA 2023, tim International Monetary Fund (IMF) mengeksplorasi kerangka berpikir yang berbeda terkait tax ratio, sebagaimana tertuang dalam Discussion Notes. Mereka berpendapat bahwa tax ratio hanyalah output akhir dari tax capacity yang dapat memicu pertumbuhan untuk menjamin terselenggaranya Sustainable Development Goals (SDGs).

Salah satu variabel penentu tax capacity adalah komponen institusi. Sebelumnya, pada 2016, Gaspar et al. menyimpulkan bahwa tax ratio ‘minimal’ sebesar 13% akan signifikan dalam mendorong pertumbuhan dan meningkatkan tax capacity (IMF, 2023). Muara akhir dari tax capacity adalah meningkatkan state capacity.

Berdasarkan pada kerangka berpikir di atas, terlihat jelas bahwa presiden terpilih Prabowo sangat memahami relasi antara tax ratio dan institusi penerimaan negara karena keduanya merupakan prasyarat tax capacity. Pembentukan BPN akan berjalan secara simultan dengan program hasil cepat lainnya. Dalam keadaan ini, risiko kinerja penerimaan harus menjadi prioritas yang perlu diatasi.

Masalahnya sekarang adalah seperti apa reformasi yang ideal untuk meningkatkan tax capacity dengan tidak mengabaikan faktor model institusi pengumpul penerimaan negara? Selain itu, seperti apa ‘bridging’ transisinya menjelang suksesi kepemimpinan nasional?

Dalam kurun 2015-2016, ide pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) telah menjadi topik diskusi publik bersamaan dengan momentum tax amnesty. Periode ini patut diakui menjadi salah satu fase penting dalam perjalanan (journey) administrasi pajak Indonesia. Harapan menghadirkan sistem administrasi pajak yang berorientasi pada customer centric mulai dikenalkan sejak saat itu.

Pimpinan otoritas pajak pun memahami pentingnya konsep design thinking dalam mengembangkan administrasi pajak yang lebih baik. User experience menjadi ‘silent recommendation’ saat mendesain proses bisnis ideal dalam administrasi pajak. Semuanya itu akhirnya menjiwai harapan besar tentang sistem administrasi pajak yang modern dan telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan.

Rancang Ulang Organisasi

SEIRING berjalannya program tersebut, desain administrasi pajak yang dikembangkan menjadi pemicu kebutuhan penyesuaian organisasi pengumpul pajak pada masa depan. Penyesuaian yang dibutuhkan tidak lagi sebatas reorganisasi atau restrukturisasi, tetapi lebih komprehensif, berupa redesain atau rancang ulang proses birokrasi dan kelembagaannya.

Tantangan untuk meningkatkan kinerja pajak yang semakin tinggi memerlukan institusi yang tidak sekadar 'berganti baju', terlebih setelah hadirnya Undang-Undang (UU) Tax Amnesty, UU Cipta Kerja, dan terakhir UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang semuanya berdampak pada proses administrasi pajak yang ada saat ini.

Dengan diperkenalkannya nomenklatur BPN oleh Presiden terpilih Prabowo, cakupan ‘penerimaan negara’ juga perlu ‘didefinisikan’. Apakah cakupan organisasi BPN akan merujuk pada Pasal 23A UUD 1945, sehingga 'pajak dan pungutan lain' akan disatukan dalam satu institusi? Ataukah BPN hanya akan mencakup unsur 'penerimaan negara' sesuai dengan definisi tax ratio versi OECD?

Menyatukan semua komponen penerimaan negara dalam ‘satu atap’ tentu bukan tugas yang mudah. Namun, berkaca pada pengembangan administrasi pajak di DJP saat ini, pemetaan proses bisnis inti (core) dan non-inti (non-core) di unit-unit penerimaan negara lainnya seharusnya juga bisa dilakukan.

Berdasarkan pada pemetaan tersebut, semua proses bisnis inti dapat diintegrasikan. Misal, jika di pajak (DJP) terdapat proses inti berupa pelayanan maka unit penerimaan negara lainnya juga pasti memiliki proses pelayanan serupa, dan seterusnya sesuai dengan fungsi-fungsi inti masing-masing.

Pembentukan BPN dengan pendekatan transformasi berbasis rancang ulang institusi tentu menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Kinerja organisasi yang sudah berjalan harus tetap terjaga selama proses perubahan ini. Apalagi, identifikasi awal menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat berdampak pada banyak aturan yang berlaku.

Setidaknya terdapat 14 undang-undang (di luar undang-undang terkait dengan pajak dan penerimaan negara lainnya), 5 PP tentang SDM, anggaran, dan infrastruktur, serta 5 Perpres tentang organisasi kementerian dan lembaga yang mungkin terpengaruh. Belum lagi berbagai aturan turunannya.

Oleh karena itu, selama masa transisi, dibutuhkan strategi manajemen perubahan (change management) yang baik agar proses peralihan dari institusi lama ke yang baru tidak kontraproduktif.

Rumah Besar Reformasi

REFORMASI pajak telah menjadi bagian yang selalu beriringan dengan setiap suksesi kepemimpinan nasional selama ini. Argumen ini parelel dengan perjalanan reformasi pajak yang fondasinya mulai dibangun sejak 1983, yakni bertepatan dengan momentum pengenalan sistem self-assessment sebagai pengganti official assessment. Saat ini, momentum ditandai dengan reformasi paket undang-undang pajak.

Kemudian, pada periode 1991-2000, dilanjutkan dengan penetapan prinsip dasar perpajakan dan penyederhanaan jenis pajak melalui amendemen undang-undang sebelumnya. Lalu, pada 2000-2001, ditetapkan visi, misi, dan blueprint, yang pada periode 2002-2008 diikuti dengan pencanangan modernisasi administrasi perpajakan melalui amendemen undang-undang pajak. Fase ini dikenal sebagai reformasi pajak jilid I.

Tidak berhenti di sana, pada 2009-2014, reformasi pajak jilid II diluncurkan dengan fokus pada peningkatan pengendalian internal. Pada 2014, muncul inisiatif reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan. Inisiatif ini kemudian dilanjutkan dengan pencanangan reformasi pajak jilid III pada 2017-2019 dengan tema konsolidasi, akselerasi, dan kontinuitas reformasi pajak. Akhirnya, pada periode 2018-2024, muncul inisiatif PSAP, yang mencakup PSIAP.

Inisiatif PSAP pada periode 2018-2024 ini dapat dipandang sebagai baseline yang mewujudkan kerangka konsolidasi rumah besar reformasi pajak yang selama ini sudah berjalan kurang lebih 40 tahun lamanya. Hal ini tercermin dalam Perpres 40 Tahun 2018, yang tidak hanya menekankan reformasi administrasi pajak, tetapi juga memperluas cakupannya ke reformasi kebijakan pajak. Pilar reformasi tersebut menjadi sangat luas karena juga mencakup regulasi.

Dalam sejarah perjalanan reformasi pajak di Indonesia, tampak jelas bahwa administrasi pajak tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pajak. Hal ini dilakukan meskipun dalam kinerja pajak, pengaruh dari kebijakan pajak lebih dominan. Richard M. Bird pernah menyatakan bahwa perubahan kebijakan tanpa perubahan administrasi tidak akan efektif. Bahkan, di negara-negara berkembang, tax administration is tax policy (Bird dan Casanegra de Jantscher, 1992).

Pada akhirnya, langkah menteri keuangan yang melaporkan kemajuan PSIAP menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah aksi strategis yang mengingatkan pentingnya untuk menjaga kesinambungan rumah besar reformasi pajak.

Pemerintahan baru yang akan segera memimpin tentunya menghadapi tugas yang juga tidaklah ringan dalam memitigasi risiko berkelanjutan pembangunan nasional. Siapa pun pemimpin nasionalnya, amanat konstitusi tetap sama, yaitu mewujudkan cita-cita pendirian Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.

 

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.