Pertanyaan:
SAAT ini saya sedang memulai usaha di bidang bisnis retail. Saya ingin bertanya mengenai aspek pajak dalam dunia retail, mengingat pembahasan mengenai hal ini saya kira masih sangat minim. Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Novalina Fransisca, Jakarta.
Jawaban:
TERIMA kasih Ibu Novalina atas pertanyaannya. Berikut kami jelaskan secara umum mengenai apa saja aspek pajak terkait dengan bisnis retail.
Dalam perpajakan domestik, perusahaan ritel digolongkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) Â baik yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) maupun penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Ibu dapat melihat ketentuannya dalam Peraturan Ditjen Pajak No. 58 Tahun 2010 pada Pasal 1 Ayat (1) dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012 pada Pasal 20 Ayat (3).
Terdapat aturan yang mengatur tentang penyesuaian batasan omzet pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Batasan omzet bagi pengusaha kecil PPN saat ini adalah Rp4,8 miliar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.197 Tahun 2013.
Peritel yang termasuk dalam kriteria pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sehingga tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya. (lihat ulasannya dalam InsideTax Edisi 19).
Terkait kewajiban PPh, peritel yang masuk dalam kategori pengusaha kecil (bukan PKP) memiliki kewajiban membayar PPh Final sebesar 1% dari jumlah peredaran brutonya setiap bulan, yang ketentuannya diatur dalam PP 46 Tahun 2013 (ulasannya dapat dilihat dalam InsideTax Edisi 16).
Peritel yang tergolong sebagai PKP berkewajiban membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP dan JKP. Faktur Pajak yang dimaksud dapat berupa: bon kontan, faktur penjualan, cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.
Namun, dengan karakteristik peritel yang memiliki jumlah transaksi penyerahan barang yang relatif banyak dengan nilai relatif kecil (jumlah satuannya kecil) menyebabkan peritel mengalami kesulitan apabila diperlakukan sama seperti PKP lainnya dalam pembuatan dan penatausahaan Faktur Pajak.
Oleh sebab itu, peritel dapat menerbitkan faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam setiap transaksinya. Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012 pada Pasal 20 ayat (1).
Dalam kesehariannya, peritel dengan skala usaha cukup besar juga tidak terlepas dari urusan pemotongan dan pemungutan PPh secara withholding.
Misalnya, atas pembayaran kepada penyedia jasa legal, akuntansi, dan lain sebagainya peritel wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN yang dibayarkan kepada penyedia jasa.
Peritel juga wajib memotong PPh Pasal 21 pembayaran gaji kepada karyawan yang besar penghasilannya telah melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp54 juta per tahunnya. Ataupun memotong PPh Pasal 4 Ayat (2) atas pembayaran biaya sewa gudang dan toko sebesar sebesar 10% dari jumlah bruto biaya sewa.
Dewasa ini, sering kita temui bisnis ritel sejenis mini market, namun pelayanan yang diberikan layaknya sebuah kafeteria, bisnis ini lebih dikenal dengan istilah convenience store.
Selain menjual beberapa produk ritel, convenience store juga menyajikan beberapa jenis makanan dan minuman, dan menyediakan tempat atau ruangan bagi para pelanggannya untuk menikmati makanan dan minuman di lokasi usaha mereka.
Karena itu, dalam klasifikasi usahanya, convenience store dikategorikan sebagai kafetaria. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Darah, covenience store digolongkansebagai wajib pajak restoran.
Dengan demikian, atas penjualan berbagai makanan dan minuman yang dijual oleh convenience store tersebut dikenakan pajak restoran, serta tidak lagi dikenakan PPN. Hal ini sesuai dengan t ketentuan dalam UU PPN Pasal 4A Ayat (2).
Demikian jawaban kami. Semoga membantu kesulitan Ibu Novalina. (Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.