KONSULTASI PAJAK

PHK Karyawan, Ini Ketentuan Pajak Uang Pesangonnya

Redaksi DDTCNews
Rabu, 15 April 2020 | 17.17 WIB
ddtc-loaderPHK Karyawan, Ini Ketentuan Pajak Uang Pesangonnya
DDTC Fiscal Research

Pertanyaan:

SAAT ini saya bekerja sebagai staf keuangan di perusahaan rintisan di bidang kuliner. Dengan berbagai pertimbangan di tengah situasi ekonomi yang sulit saat ini sebagai akibat dampak wabah covid-19, perusahaan kami akhirnya memutuskan untuk memberhentikan sejumlah karyawan.

Sebagai kompensasi, kami memberikan sejumlah uang pesangon kepada karyawan tersebut. Sebagai perusahaan baru, kami masih belum memahami bagaimana aspek pemajakan atas uang pesangon tersebut? Mohon dapat dijelaskan. Terima kasih.

Affan, Bandung.

Jawaban:

TERIMA kasih Bapak Affan atas pertanyaannya. Dalam dunia kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakah hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan. Ketentuan pembayaran uang pesangon atas karyawan yang di-PHK pun telah diatur dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh karyawan.

Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon yang seharusnya diterima terdiri dari upah pokok dan segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap, yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan yang mengatur aspek pemajakan uang pesanon, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.68/2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.

Dalam PP tersebut dinyatakan uang pesangon yang diterima atau diperoleh oleh pegawai merupakan objek PPh yang wajib dipotong PPh Pasal 21. Dalam peraturan tersebut, yang dimaksud dengan uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

Setidaknya, terdapat dua aspek pemajakan yang diatur, yaitu atas uang pesangon yang dibayarkan secara sekaligus atau dianggap sekaligus dan atas uang pesangon yang dibayarkan secara bertahap. Berikut penjelasannya.

Pertama, untuk uang pesangon yang dibayarkan secara sekaligus atau dianggap dibayarkan sekaligus.  Atas uang pesangon yang diterima atau diperoleh pegawai dikenai pemotongan PPh Pasal 21 bersifat final.

Umumnya, perusahaan atau pemberi kerja membayarkan secara langsung uang pesangon saat PMK. Namun, karena alasan keuangan, pembayaran uang pesangon yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dapat dilakukan dalam beberapa kali pembayaran.

Sesuai PP 68/2009, apabila  pembayaran uang pesangon dilakukan dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 tahun kalender, dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.

Dengan memperhatikan bahwa besarnya uang pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan maka tarif PPh Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun, lapisan tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

Sesuai Pasal 4 PP 68/2009, besaran tarif pajak penghasilan uang pesangon dapat dilihat sebagai berikut:

  • Tarif 0% untuk penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta;
  • Tarif 5% untuk penghasilan bruto di atas Rp50 juta sampai dengan Rp100 juta;
  • Tarif 15% untuk penghasilan bruto di atas Rp100 juta sampai dengan Rp500 juta; dan
  • Tarif 25% untuk penghasilan bruto di atas Rp500 juta.

Kedua, untuk uang pesangon yang dibayarkan secara bertahap. Dengan batasan waktu sampai dengan 2 tahun, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada pegawai pada tahun ketiga dan seterusnya. PPh Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.

Untuk lebih memahaminya, berikut contoh ilustrasi terkait dua poin di atas.

Contoh 1: dibayarkan sekaligus atau dianggap dibayarkan sekaligus

Bapak Agus menerima pembayaran uang pesangon sebesar Rp200.000.000 yang dilakukan dalam beberapa kali pembayaran sebagai berikut:

  1. Desember 2019: Rp50.000.000
  2. April 2020: Rp150.000.000

Contoh 2: dibayarkan secara bertahap

Bapak Raden menerima pembayaran uang pesangon sebesar Rp800 juta dengan jadwal pemberian sebagai berikut (melebihi 2 tahun):

  1. Bulan April 2020: Rp250.000.000
  2. Bulan Maret 2021: Rp200.000.000
  3. Bulan Januari 2023: Rp350.000.000

Berikut perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Bapak Agus dan Bapak Raden. (Asumsi keduanya sudah ber-NPWP)

Berdasarkan penghitungan di atas, jumlah seluruh PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Bapak Agus adalah Rp17.500.000. Pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon yang dibayarkan dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (bersifat final) atas uang pesangon kepada Bapak Agus meskipun ada yang dikenai tarif pemotongan 0% atau nihil.

Adapun untuk Bapak Agus, jumlah seluruh PPh Pasal 21 yang dipotong adalah Rp112.500.000. Perlu dicatat, pada Januari 2023, pembayaran uang pesangon sudah melebihi dua tahun kalender, sehingga penghitungannya menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Selain itu, PPh Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak pada SPT tahunan orang pribadi.

Sebagai informasi, apabila karyawan Bapak tidak memiliki NPWP, tarif pemotongan PPh Pasal 21 lebih tinggi 20%. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 242/PMK.03/2014, untuk penyetoran dan pelaporan pemotongan pajak PPh Pasal 21 dilakukan setiap masa pajak, masing-masing paling lambat tanggal 10 dan tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Demikian penjelasan umum mengenai aspek pajak atas uang pesangon, semoga dapat membantu kesulitan Bapak Affan. (Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Ahmad syahputra
baru saja
siapa yg membayar pajak pph pesangon
user-comment-photo-profile
Rina Wongso
baru saja
mau bertanya jika, sudah terlanjur dipotong non final bagaimana? apakah bisa pinbuk?
user-comment-photo-profile
Heru nugroho
baru saja
mohon penjelasan. apakah tidak ada pengurangan PTKP terhadap jumlah bruto dr pesangon PHK?
user-comment-photo-profile
Izwan Lubis
baru saja
izin bertanya kak, apakah pesangom yang diterima karyawan senilai 400jt dan dibayarkan secara bertahap selama 20 Bulan atau @20jt/bulan juga dikenakan pph 21. berapakah besarannya... Terima kasih.
user-comment-photo-profile
Rahul Pangeranta Ginting
baru saja
Maaf izin bertanya, jika misalnya Pak Raden menerima uang pesangon lagi di bulan Februari 2023, apakah penghasilannya kumulatif dengan yang diterima di bulan Januari 2023? Mohon penjelasannya, terima kasih
user-comment-photo-profile
Rizqi Nur Ashifa
baru saja
Maaf mau bertanya, untuk tabel Bapak Raden yang pembayaran bulan Maret 2021 kenapa penghasilan bruto langsung dikali dengan tarif 15% ya? Mohon penjelasannya, terimakasih. Salam.
admin-photo-profile
Admin
baru saja
<p>Karena tarifnya kumulatif, tarif terakhir sebelumnya adalah 15%, jadi tidak bisa dihitung dari awal lagi (0% dst).&nbsp;</p>