Pertanyaan:
SAAT ini saya bekerja sebagai staf keuangan di perusahaan rintisan di bidang kuliner. Dengan berbagai pertimbangan di tengah situasi ekonomi yang sulit saat ini sebagai akibat dampak wabah covid-19, perusahaan kami akhirnya memutuskan untuk memberhentikan sejumlah karyawan.
Sebagai kompensasi, kami memberikan sejumlah uang pesangon kepada karyawan tersebut. Sebagai perusahaan baru, kami masih belum memahami bagaimana aspek pemajakan atas uang pesangon tersebut? Mohon dapat dijelaskan. Terima kasih.
Affan, Bandung.
Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Affan atas pertanyaannya. Dalam dunia kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakah hal yang lazim dilakukan oleh perusahaan. Ketentuan pembayaran uang pesangon atas karyawan yang di-PHK pun telah diatur dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh karyawan.
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon yang seharusnya diterima terdiri dari upah pokok dan segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap, yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan yang mengatur aspek pemajakan uang pesanon, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.68/2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
Dalam PP tersebut dinyatakan uang pesangon yang diterima atau diperoleh oleh pegawai merupakan objek PPh yang wajib dipotong PPh Pasal 21. Dalam peraturan tersebut, yang dimaksud dengan uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Setidaknya, terdapat dua aspek pemajakan yang diatur, yaitu atas uang pesangon yang dibayarkan secara sekaligus atau dianggap sekaligus dan atas uang pesangon yang dibayarkan secara bertahap. Berikut penjelasannya.
Pertama, untuk uang pesangon yang dibayarkan secara sekaligus atau dianggap dibayarkan sekaligus. Atas uang pesangon yang diterima atau diperoleh pegawai dikenai pemotongan PPh Pasal 21 bersifat final.
Umumnya, perusahaan atau pemberi kerja membayarkan secara langsung uang pesangon saat PMK. Namun, karena alasan keuangan, pembayaran uang pesangon yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dapat dilakukan dalam beberapa kali pembayaran.
Sesuai PP 68/2009, apabila pembayaran uang pesangon dilakukan dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 tahun kalender, dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
Dengan memperhatikan bahwa besarnya uang pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan maka tarif PPh Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun, lapisan tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.
Sesuai Pasal 4 PP 68/2009, besaran tarif pajak penghasilan uang pesangon dapat dilihat sebagai berikut:
Kedua, untuk uang pesangon yang dibayarkan secara bertahap. Dengan batasan waktu sampai dengan 2 tahun, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada pegawai pada tahun ketiga dan seterusnya. PPh Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
Untuk lebih memahaminya, berikut contoh ilustrasi terkait dua poin di atas.
Contoh 1: dibayarkan sekaligus atau dianggap dibayarkan sekaligus
Bapak Agus menerima pembayaran uang pesangon sebesar Rp200.000.000 yang dilakukan dalam beberapa kali pembayaran sebagai berikut:
Contoh 2: dibayarkan secara bertahap
Bapak Raden menerima pembayaran uang pesangon sebesar Rp800 juta dengan jadwal pemberian sebagai berikut (melebihi 2 tahun):
Berikut perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Bapak Agus dan Bapak Raden. (Asumsi keduanya sudah ber-NPWP)
Berdasarkan penghitungan di atas, jumlah seluruh PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Bapak Agus adalah Rp17.500.000. Pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon yang dibayarkan dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (bersifat final) atas uang pesangon kepada Bapak Agus meskipun ada yang dikenai tarif pemotongan 0% atau nihil.
Adapun untuk Bapak Agus, jumlah seluruh PPh Pasal 21 yang dipotong adalah Rp112.500.000. Perlu dicatat, pada Januari 2023, pembayaran uang pesangon sudah melebihi dua tahun kalender, sehingga penghitungannya menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Selain itu, PPh Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak pada SPT tahunan orang pribadi.
Sebagai informasi, apabila karyawan Bapak tidak memiliki NPWP, tarif pemotongan PPh Pasal 21 lebih tinggi 20%. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 242/PMK.03/2014, untuk penyetoran dan pelaporan pemotongan pajak PPh Pasal 21 dilakukan setiap masa pajak, masing-masing paling lambat tanggal 10 dan tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Demikian penjelasan umum mengenai aspek pajak atas uang pesangon, semoga dapat membantu kesulitan Bapak Affan. (Disclaimer)