RUU KUP - TERMINOLOGI PAJAK

Agar Hak Pembayar Pajak Lebih Tegak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 13 Desember 2016 | 14.41 WIB
ddtc-loaderAgar Hak Pembayar Pajak Lebih Tegak
DDTC Fiscal Research

SUDAH lebih dari tiga dekade terminologi wajib pajak digunakan dalam sistem perpajakan Indonesia. Meski ada sedikit perubahan per definisi, istilah tersebut tetap dipertahankan dalam tiga kali revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

UU KUP pertama, yaitu UU No. 6 Tahun 1983, mendefinisikan wajib pajak sebagai orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.

Sebelas tahun kemudian, melalui revisi UU KUP kedua yaitu UU No. 9 Tahun 1994, definisi tersebut meluas. Ada tambahan frasa kalimat yang intinya menyatakan wajib pajak juga memiliki kewajiban memungut atau memotong pajak tertentu. Di sinilah istilah pemungut pajak dan pemotong pajak lahir.

Masuk ke era reformasi, UU KUP kembali direvisi. Namun, pada revisi kedua itu, melalui UU No. 16 Tahun 2000, praktis tidak ada perubahan definisi wajib pajak. Baru 7 tahun berikutnya, definisi wajib pajak diubah kembali melalui UU No. 28 Tahun 2007, revisi ketiga UU KUP.

Melalui UU No. 28 Tahun 2007 itulah, untuk pertama kalinya terdapat frasa hak dan kewajiban dalam definisi wajib pajak. Artinya, ada penekanan yuridis bahwa selain memiliki kewajiban membayar pajak, ada hak-hak wajib pajak yang dijamin dan dilindungi undang-undang.[1]

10 Hak Pembayar Pajak di Indonesia
NoHakKeterangan
1Menerima kelebihanMendapatkan kompensasi jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak terlambat diterima
2KerahasiaanMendapatkan jaminan atas kerahasiaan informasi yang diberikan kecuali UU menentukan lain
3Mengangsur atau menundaDengan syarat tertentu, mendapatkan penundaan dan pengangsuran utang pajak
4Terlambat melaporkanDengan alasan tertentu, menyampaikan laporan SPT yang melampaui tenggat
5Pengurangan PPh Pasal 25Dengan syarat tertentu, mendapatkan pengurangan PPh Pasal 25
6Pengurangan PBBDengan syarat tertentu, misalnya objek terkena bencana, mendapatkan pengurangan PBB
7Pembebasan PPhDengan syarat tertentu, mendapatkan pembebasan atas pemotongan/ pemungutan PPh
8Pengembalian pendahuluanDengan syarat tertentu, mendapat pengembalian pendahuluan kelebihan pajak maks. 3 bulan
9Subsidi pajakMendapat insentif pajak ditanggung pemerintah atas proyek yang dibiayai hibah atau utang
10Insentif pajakDengan syarat tertentu, mendapatkan fasilitas pembebasan PPN untuk barang/ jasa tertentu

Sumber: UU KUP, diolah Ditjen Pajak, 2016 (http://www.pajak.go.id/content/hak-hak-wajib-pajak)

Walaupun demikian, dengan berubahnya situasi perpajakan saat ini, istilah wajib pajak pun dinilai kurang pas. Karena itu, draf revisi UU KUP yang telah diserahkan pemerintah ke DPR di tahun ini akan mengganti istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak.[2]

Dalam draf RUU KUP tersebut, pembayar pajak didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sendiri, dan/ atau sebagai pemotong dan/ atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Beberapa Pengaturan Istilah Pembayar Pajak
Pokok PengaturanUU KUPDraf RUU KUP
TerminologiWajib PajakPembayar Pajak
CakupanOrang pribadi dan BadanOrang pribadi dan Badan
IdentitasNomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP)
 Pengusaha Kena Pajak (PKP)Pengusaha Kena Pajak (PKP)
 Tidak diaturNomor Identitas Objek Pajak (NIOP)
Tempat Pendaftaran  Ditjen PajakKantor Lembaga

Sumber: DDTC Research, 2016

KEPATUHAN PAJAK

SETIDAKNYA ada beberapa alasan yang menjadi dasar penggantian itu. Pertama, terminologi wajib pajak lebih menekankan unsur kewajiban bagi masyarakat dan kurang mencerminkan penghargaan bagi warga atas kontribusinya dalam membiayai pembangunan melalui pajak yang mereka bayar.

Kedua, penggunaan terminologi pembayar pajak lebih menekankan peran kepatuhan sukarela dalam pemenuhan kewajiban perpajakan warga negara. Istilah ini mencoba menghilangkan kesan adanya unsur pemaksaan, walaupun karakteristik pajak itu sendiri tidak terlepas dari unsur paksaan.

Ketiga, terminologi pembayar pajak sejalan dengan best practice internasional yang menggunakan terminologi taxpayer, yang secara harfiah diartikan pembayar pajak. Begitu pula dalam dokumen-dokumen perpajakan internasional seperti tax treaty, yang juga menggunakan terminologi taxpayer.

Draf ini juga mengubah identitas wajib pajak yang kini disebut Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP). Untuk kali pertama juga, RUU KUP memperkenalkan Nomor Identitas Objek Pajak (NIOP) terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Melalui perubahan penyebutan wajib pajak menjadi pembayar pajak ini, pemerintah terlihat ingin memperbaiki paradigma sekaligus pola relasi yang terbentuk antara negara (fiskus) dan warga negara (pembayar pajak), dan dengan cara itu kepatuhan dan penerimaan pajak dapat meningkat. [3]

Perubahan pola relasi itu berhubungan erat dengan kepatuhan dan penerimaan, karena apabila otoritas perpajakan memperlakukan wajib pajak dengan posisi yang lebih inferior, atau dengan perspektif polisi dan perampok (cops and robber), maka wajib pajak akan cenderung tidak patuh.

Pendekatan ini memperlakukan wajib pajak layaknya pencuri dan otoritas pajak dianggap sebagai polisi yang memburunya. Ini tidak hanya menimbulkan biaya tinggi dalam pelaksanaan, tetapi juga turut berkontribusi pada terciptanya pandangan bahwa wajib pajak adalah mangsa yang diburu.

Harus diakui, relasi seperti inilah yang antara lain turut menjelaskan rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2015 hanya 23,9%  dari total jumlah orang pribadi pekerja dan berpenghasilan di Indonesia yang mendaftar atau terdaftar sebagai wajib pajak.

Jumlah ini akan lebih kecil jika dihitung dari jumlah wajib pajak terdaftar yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), termasuk jika dinilai kebenaran SPT yang disampaikan. Rendahnya kepatuhan inilah yang antara lain menjadi salah satu persoalan perpajakan yang krusial di Indonesia.

Karena itu, sukar untuk tidak sampai pada kesimpulan, bahwa draf revisi UU KUP ini berusaha untuk mengubah pendekatan cops and robber menjadi pendekatan service and client. Dari pendekatan inilah datang kebutuhan untuk memberikan penghormatan penuh dan dukungan kepada wajib pajak.

Di sisi lain, perubahan pandangan baru terhadap kedudukan wajib pajak ini sebetulnya toh juga sudah didukung dengan diterapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty), yang menjembatani dan menghapus dosa pajak masa lalu, baik yang dilakukan wajib pajak maupun otoritas pajak.

Tidak hanya tercermin dari adanya perubahan terminologi saja, lebih jauh lagi, secara substansi draf revisi UU KUP harus dapat menyediakan sistem dan prosedur  pajak yang transparan, sehingga dapat membentuk kepercayaan dan atmosfer kerja sama antara pembayar dan otoritas pajak.

Apa yang telah dilakukan sejumlah negara anggota OECD dengan mengonsolidasikan dan mengurai  Taxpayer Bill of Rights ke dalam aturan khusus tersendiri—bahkan ada yang dijadikan UU tersendiri—sebagai pedoman membangun relasi fiskus dan pembayar pajak itu tentu layak dijadikan referensi. [4]

10 Hak Pembayar Pajak di Amerika Serikat
NoHakKeterangan
1InformasiMendapatkan informasi yang jelas tentang aturan pajak dan keputusan yang terkait dengan dirinya
2Layanan berkualitasMendapatkan layanan yang profesional, layak dan santun termasuk untuk mengajukan komplain
3Membayar pasMembayar tidak lebih atau sesuai dengan jumlah tagihan pajak termasuk penalti, bunga dan denda
4Keberatan & didengarMengajukan keberatan sekaligus menyediakan argumentasi penguatnya dan menerima responsnya
5BandingMengajukan banding ke pengadilan independen atas keputusan keberatan dan menerima respons
6KepastianMengetahui waktu maksimal pemeriksaan, mengajukan keberatan/ banding, dan putusannya
7Privasi Mendapatkan jaminan kepatuhan hukum atas pemeriksaan, penyelidikan, dan tindakan hukum lain
8KerahasiaanMendapatkan jaminan atas kerahasiaan informasi yang diberikan kecuali dengan persetujuan
9DiwakilkanMengangkat seseorang mewakili dirinya dan mendapatkan bantuan jika mengalami kesulitan biaya
10Sistem yang adil Mendapatkan kuasa hukum dan jaminan bahwa sistem tidak mengesampingkan semua informasi

Sumber: Taxpayer Bill of Rights, IRS, 2016 (https://www.irs.gov/pub/irs-pdf/p5170.pdf)

Bukan hanya itu—misalnya dengan ilustrasi kantor pajak menempelkan Piagam Hak Pembayar Pajak di dinding resepsionisnya seperti poster Hak Pasien di dinding resepsionis rumah sakit—beberapa dari negara tersebut juga ikut memfasilitasi agar pembayar pajak bisa melaksanakan haknya.

Ditjen Pajak AS (Internal Revenue Service/ IRS) misalnya, setiap tahun memberikan bantuan kepada semacam lembaga yang dibentuk bersama stakeholder lain untuk secara independen beroperasi di IRS guna membantu dan mewakili pembayar pajak di IRS memastikan semua hak-haknya terpenuhi. [5]

Selain itu, visi ini selayaknya juga diikuti dengan penghormatan hak wajib pajak secara lebih eksplisit dan konkret. Misalnya dengan percepatan penyelesaian pemeriksaan, keberatan, dan permohonan lain, termasuk sanksi bagi petugas pajak yang melanggar UU.

Dengan adanya penghormatan hak-hak wajib pajak yang lebih substasial seperti itu, perubahan istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak akan bisa memberi efek nyata, dan tentunya dapat dirasakan oleh masyarakat pembayar pajak itu sendiri. Semoga! (*)


[1] Dalam pembahasan UU No. 28 Tahun 2007 ini, Fraksi Partai Amanat Nasional secara resmi mengusulkan agar istilah Wajib Pajak diganti dengan Pembayar Pajak. Diskusi-diskusi perpajakan yang berkembang saat itu juga sudah mengungkapkan perlunya istilah Wajib Pajak diganti dengan Pembayar Pajak. Tujuan intinya tidak lain agar negara lebih menjamin dan memperhatikan hak wajib pajak, bukan sekadar menagih kewajibannya. Usulan ini juga jadi salah satu poin minderheitsnota yang disampaikan saat rapat paripurna RUU KUP tadi. Namun, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menolak usulan tersebut. Alasannya, istilah Wajib Pajak juga mencakup istilah pemungut, pemotong, dan penyetor pajak. Dan jika maksa diganti, maka pemerintah harus repot-repot bersosialisasi di depan publik. (Hukumonline, 20 Juni 2007)

[2] Pasal 1 ayat (2) draf RUU KUP: “Pembayar Pajak adalah orang pribadi atau Badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sendiri, dan/ atau sebagai pemotong dan/ atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.” Sejalan dengan pengertian itu, Pasal 1 ayat (6) draf RUU KUP juga menyebut: “Nomor Identitas Pembayar Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Pembayar Pajak sebagai sarana pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Pembayar Pajak.”

[3] Perbaikan pola relasi itu juga menjadi dasar konsensus pembentukan istilah taxpayer di sejumlah negara. Uraian lebih lengkap mengenai persoalan ini dapat dibaca di Taxpayers' Rights: An International Perspective (Duncan Bentley, ed. 1998)

[4] Uraian lebih lanjut tentang ini dapat dibaca dalam Taxation: Critical Perspectives on the World Economy Volume 2 (Simon James, 2002).

[5] Dengan Taxpayer Bill of Rights ini, IRS pun memfasilitasi program atau lembaga seperti Low Income Taxpayer Clinic untuk membantu pembayar pajak berurusan dengan IRS dan Taxpayer Advocate Service (TAS) yang membantu menangani protes pembayar pajak. Tugas pokok TAS ini sebetulnya mirip dengan Komisi Pengawas Perpajakan (Komwas Pajak) di Indonesia. Cuma bedanya, jika TAS itu independen, Komwas Pajak tidak karena anggotanya diangkat dan dilantik oleh Menteri Keuangan.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.