RENDAHNYA tax ratio di Indonesia mengindikasikan masih besarnya tax gap dalam sistem perpajakan. Tax gap dapat diartikan sebagai selisih antara jumlah aktual penerimaan pajak dan jumlah potensi pajak yang seharusnya dapat diterima.
Satu studi menyatakan, komponen tertinggi dari total tax gap ternyata bersumber dari kegiatan hard-to-tax sector (Russell, 2010). Pasalnya, banyak individu dalam kegiatan hard-to-tax sector tidak terdaftar sebagai wajib pajak (WP) dan tergabung dalam sistem administrasi pajak.
Kegiatan hard-to-tax sector juga dapat berimplikasi signifikan terhadap perekonomian, penerimaan pajak, efisiensi dalam alokasi penerimaan, dan persebaran pendapatan (Alm, Vasques & Wallace, 2004). Itulah sebabnya, hard-to-tax sector sekaligus merupakan celah potensial untuk meningkatkan penerimaan.
Sejalan dengan strategi ekstensifikasi dari Ditjen Pajak, tendensi untuk menggencarkan pengenaan pajak terhadap hard-to-tax sector pun meningkat. Selain ada tambahan penerimaan, terdapat manfaat penting lainnya dari menggencarkan pajak terhadap hard-to-tax sector, yakni peningkatan kepatuhan pajak.
Definisi
Definisi yang digunakan oleh banyak peneliti di bidang ini bervariasi antara satu dengan yang lain bergantung pada metode dan indikator yang digunakan. Namun, dari berbagai definisi tersebut, pengertian hard-to-tax sector dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori.
Pertama, kegiatan ekonomi yang dilakukan secara ilegal, seperti penyelundupan, perjudian, prostitusi, dan perdagangan narkotika. Kedua, kegiatan ekonomi yang memiliki sifat legal, tetapi pendapatan yang diterima tidak dilaporkan kepada otoritas pajak, sehingga tidak terkena pajak.
Dengan klasifikasi seperti itu, tidak heran bila hard-to-tax-sector bahkan disebut sebagai fenomena ‘hantu’ sekaligus ‘gunung es’ karena otoritas pajak tidak mengetahui siapa mereka dan hanya dapat melihat sebagian kecil dari aktivitasnya (Bird & Wallace, 2004).
Situasi Indonesia
Menurut Schneider, pada 1999, jumlah hard-to-tax sector di Indonesia mengambil porsi hingga 19,7% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini tidak jauh berbeda dengan penghitungan oleh Duc dan Thinh, yaitu 21% dari total PDB 2014.
Meningkatnya kegiatan hard-to-tax sector secara tidak langsung akan berimplikasi pada kecenderungan pemerintah untuk menaikkan tarif pajak dalam mengatasi kekurangan dana untuk penyediaan barang publik (Tanzi & Schuknecht, 2000).
Akan tetapi, meningkatnya tarif pajak ini malah akan berpengaruh pada mereka yang membayar pajak, bukan pada mereka yang terlibat dalam kegiatan hard-to-tax sector. Hal itu justru menimbulkan distorsi dalam sistem perpajakan.
Di Indonesia, kebijakan untuk hard-to-tax sector seringkali bersifat presumptive tax. Ini berarti, pemajakan untuk sektor ini menggunakan metode basis perhitungan yang tidak langsung, yang berbeda dari aturan umum.
Teknik ini digunakan karena beragam alasan, salah satunya untuk tujuan simplifikasi administrasi pajak. Presumptive tax memang menjadi alternatif kebijakan di berbagai negara, terutama jika didominasi oleh WP yang tergolong hard-to-tax sector.
WP tersebut sebagian besar tidak mempunyai transparansi keuangan yang memungkinkan pengenaan pajak yang efektif oleh pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah mengestimasi atau mengasumsikan besar pendapatan yang seharusnya dikenakan pajak.
Di Indonesia, presumptive tax yang berlaku untuk Pajak Penghasilan (PPh) pada hard-to-tax sector adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan dikalikan tarif 1%.
Meskipun sudah ada kebijakan seperti itu, fakta di lapangan menunjukkan, penerapan PP-46 masih belum memberikan dampak yang signifikan terhadap penerimaan pajak dari hard-to-tax sector. Penerimaan dari hard-to-tax sector, dalam konteks PP ini sektor usaha kecil dan menengah (UKM), masih belum optimal.
Perlu Tax Amnesty
Untuk menggali potensi pajak yang hilang dari hard-to-tax sector, kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dapat dipertimbangkan. Dengan tax amnesty, WP diberikan kesempatan untuk membayar pajak yang belum dibayar tanpa dikenakan sanksi dan tuntutan (Alm & Beck, 1991).
Dalam konteks hard-to-tax sector, tujuan utama tax amnesty adalah untuk mengumpulkan data kekayaan WP. Catatan data kekayaan WP dalam sistem administrasi perpajakan bertujuan untuk mempersulit penghindaran pajak yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.
Afrika Selatan pernah menerapkan tax amnesty yang khusus menyasar hard-to-tax sector, yaitu untuk UKM (Malherbe, 2010). Tujuannya adalah untuk memperluas basis perpajakan, meningkatkan budaya kepatuhan, dan menyediakan fasilitas kepada UKM dalam sistem perpajakan.
Pemerintah Italia juga mengimplementasikan Regularization Campaign (L.383/2001) yang berlangsung Oktober 2001 sampai Oktober 2002. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya pekerja imigran yang belum terdaftar. Setidaknya, hard-to-tax sector di Italia mencapai 20% dari PDB setiap tahunnya.
Pekerja dan usaha hard-to-tax sector didorong membayar pajak dan retribusi dengan persyaratan dan tenggat waktu tertentu. Jika aturan tersebut tidak diikuti dan melewati tenggat, mereka terkena penalti 100% dari pajak terutangnya.Hasilnya, 385.000 pekerja terdaftar secara nasional (Meldolesi, 2003).
Satu lagi, tax amnesty di Turki juga berlatar tingginya jumlah hard-to-tax sector yang mencapai 6,5% dari PDB. Pada 2002, tax amnesty diberikan atas pajak properti dan sanksi pajaknya, yang tercatat telah mengurangi jumlah hard-to-tax sector di Turki secara signifikan (Kara, 2014).
Melihat contoh kasus di negara lain, tax amnesty ini berpotensi dapat berpengaruh besar dalam mendorong hard-to-tax sector masuk ke sistem perpajakan. Dengan kata lain, tax amnesty dapat dijadikan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah perpajakan pada hard-to-tax sector.
Dalam jangka pendek, kebijakan tersebut memang tidak langsung menghasilkan banyak penerimaan. Namun, langkah administratif tetap diperlukan untuk mengumpulkan data kegiatan hard-to-tax sector ke dalam sistem administrasi perpajakan.
Selanjutnya, data transaksi hard-to-tax sector yang masuk ke dalam sistem perpajakan dapat digunakan untuk mengawasi dan mengurangi risiko ketidakpatuhan, sehingga WP tidak lagi dapat mengelak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
Seiring dengan meningkatnya jumlah PDB Indonesia, jumlah transaksi pada kegiatan hard-to-tax sector berpotensi akan terus meningkat. Jika potensi pajak dari kegiatan itu tidak direngkuh, dampaknya justru akan mereduksi kualitas dari penyediaan barang publik, yang selama ini didanai dari pajak.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.