ANALISIS

Pajak Royalti atas Transaksi Software

Redaksi DDTCNews
Senin, 13 Juni 2016 | 12.56 WIB
ddtc-loaderPajak Royalti atas Transaksi Software
DDTC Consulting

INDUSTRI teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi salah satu industri yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.

Salah satu produk dari perkembangan teknologi tersebut adalah software, yang memiliki tingkat mobilitas transaksi sangat tinggi. Namun, dari sudut pandang perpajakan, transaksi software merupakan hal yang relatif baru.

Tidak mengherankan bila transaksi software lintas negara sering menimbulkan sengketa perpajakan, khususnya penentuan jenis penghasilan yang didapat atas transaksi. Sebab penentuan jenis penghasilan akan berdampak kepada hak pemajakan suatu negara.

Isunya adalah, apakah penghasilan dari transaksi software selalu merupakan royalti?  Artikel ini akan membahas interpretasi dan klasifikasi jenis penghasilan atas transaksi software untuk tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Transaksi Software sebagai Royalti

Pengertian royalti dalam P3B pada umumnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) maupun model yang dikembangkan oleh United Nations (UN).

Berdasarkan definisi di atas, royalti diartikan sebagai segala bentuk pembayaran sehubungan dengan penggunaan ‘hak cipta’ atas karya sastra, kesenian atau karya ilmiah.

Software tidak termasuk dalam contoh-contoh yang dijelaskan dalam pengertian tersebut. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa transaksi software tercakup dalam pengertian use of, or the right to use, any copy right.

Use, or the Right to Use

Rumusan kata-kata use, or the right to use, menyiratkan bahwa definisi royalti tidak mencakup transaksi pengalihan hak milik.

Dengan kata lain, pasal royalti dalam suatu P3B hanya dapat diterapkan terhadap penggunaan atau hak menggunakan suatu aset.

Namun, penggunaan software berbeda dengan penggunaan aset tidak berwujud tradisional lainnya, seperti hak cipta buku. Perbedaan cara menggunakan tersebut terutama terletak dalam cara mereproduksinya.

Oleh karena itu pertanyaannya: penggunaan software seperti apa yang dapat diklasifikasikan sebagai royalti?

Menurut Paragraf 12.2 OECD Commentaries tahun 2010 atas Pasal 12 (Pasal Royalti), karakter suatu pembayaran atas transaksi software ditentukan oleh sifat legal (legal nature) yang diterima oleh pembeli software tersebut.

OECD Commentaries juga menjelaskan bahwa transaksi software yang dapat diklasifikasikan sebagai royalti adalah penggunaan atau hak untuk menggunakan “suatu hak yang dilindungi oleh hak cipta” (copyright rights). Yaitu, apabila software tersebut digunakan untuk tujuan eksploitasi komersial.

Sebagaimana diuraikan di atas, definisi royalti dalam P3B merujuk pada penggunaan atau hak menggunakan segala jenis hak cipta (use, or the right to use, any copyright) dan bukan pada penggunaan atau hak menggunakan suatu produk yang dilindungi hak cipta (copyrighted work).

Oleh karena itu, pembayaran atas penggunaan software untuk tujuan non-komersial tidak dapat diklasifikasikan sebagai royalti.

Copyright

Pengertian ‘copyright’ tidak didefinisikan dalam P3B, namun OECD Commentaries9 memberikan beberapa contoh, yaitu hak untuk mereproduksi dan mendistribusikan software kepada publik; atau hak untuk memodifikasi dan mempertunjukan software kepada publik.

Dalam konteks Indonesia, pengertian “copyright” tidak didefinisikan dalam ketentuan peraturan perpajakan.

Namun dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer termasuk ciptaan yang dilindungi.  UU 19/2002 tersebut juga menyatakan pembuatan salinan cadangan suatu program computer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri bukan merupakan pelanggaran hak cipta.

Dengan demikan, dari sudut pandang hukum Indonesia, pemberian lisensi software untuk kepentingan pribadi (non-komersial) tidak dapat diklasifikasikan sebagai royalti. Itu karena penggunaan untuk non-komersial bukan merupakan pelanggaran hak cipta.

Berbeda dengan di Amerika Serikat dan Australia. Di kedua negara itu, definisi ‘copyright’ terdapat dalam ketentuan domestik perpajakan mereka.

Variasi hukum ini dapat menyebabkan konflik kualifikasi di dalam P3B. Sebab, ketentuan interpretasi dalam Pasal 3 ayat (2) P3B mengatur, bahwa jika suatu terminologi tidak didefinisikan dalam P3B, terminologi tersebut dapat diartikan menurut ketentuan peraturan domestik masing-masing negara yang terikat P3B.

Dari uraian di atas terlihat, untuk tujuan perpajakan internasional, pembayaran atas transaksi software diklasifikasikan sebagai royalty apabila terdapat penggunaan atau hak menggunakan ‘hak cipta’ yang terdapat dalam software (use of or the use of ‘copyright’ in the software).

Penggunaan atau hak menggunakan ‘hak cipta’ atau ‘copyright’ dapat berupa antara lain hak untuk mereproduksi, mempertunjukkan kepada publik, hak untuk memodifikasi, dan hak untuk membuat program turunan untuk tujuan eksploitasi komersial.

Tapi penggunaan atau hak menggunakan produk software yang dilindungi oleh hak cipta (copyright-protected software) untuk tujuan digunakan sendiri tidak dapat diklasifikasikan sebagai royalti.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.