SALAH satu kebijakan perpajakan yang diatur di dalam Perppu 1/2020 adalah kebijakan pajak atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri di Indonesia. Cakupan pemajakan PMSE meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Terkait dengan PTE, simak artikel apa itu PTE?
PTE yang akan diterapkan di Indonesia ini mirip dengan aksi-aksi unilateral yang dilakukan banyak negara lain di Uni Eropa. Ketentuan pajak unilateral berbagai negara tersebut secara umum disebut dengan Digital Service Tax (DST). PTE atau DST hadir karena aturan pajak internasional yang ada saat ini belum dapat mengkomodasi transaksi ekonomi digital dengan baik.
Dalam ekonomi digital laba usaha yang berasal dari negara pasar dapat dihasilkan tanpa diperlukan adanya kehadiran fisik. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai isu PTE dapat juga membaca artikel  tantangan penerapan PTE di Indonesia.
Prinsip National Treatment
Salah satu prinsip WTO dalam sistem perdagangan internasional yang dapat dilanggar oleh penerapan DST adalah prinsip national treatment, yang diatur dalam Pasal III GATT 1947. Menurut prinsip ini, produk suatu negara yang diimpor ke dalam negara lainnya harus diperlakukan sama dengan produk dalam negeri. Prinsip ini berlaku luas, meliputi juga atas pemajakan dan pungutan-pungutan lainnya.
Prinsip national treatment juga diberlakukan dalam the General Agreement on Trade in Service (GATS) di dalam Pasal XVII. Terkait dengan perdagangan elektronik (e-commerce), prinsip national treatment telah diadopsi oleh Council for Trade in Services pada tanggal 19 Juli 1999. Uni Eropa dalam schedule of commitment to GATS telah menjanjikan untuk membuka akses pasar dan menerapkan national treatment atas kegiatan jasa yang berhubungan dengan komputer (computer-related services).
DST dan Prinsip National Treatment
Kim (2020) mengemukakan bahwa DST hanya diterapkan terhadap beberapa model bisnis digital tertentu (ring-fencing). Selain itu, penerapan DST berpotensi memunculkan diskriminasi terhadap pengusaha berdasarkan asal negaranya (nationality).
Cakupan DST yang akan diterapkan oleh beberapa negara seperti Inggris dan Prancis meliputi digital adverstising, search engines, social media platforms, digital interface/intermediation, dan online marketplace. Sementara itu, jasa pembiayaan dan pembayaran secara online, penyediaan konten digital, penjualan software, tayangan streaming dikecualikan dari pengenaan DST (Kim, 2020).
Ambang batas terkait Significant Economic Presence (SEP) yang digagas oleh Uni Eropa adalah peredaran bruto global paling sedikit 750juta Euro dan peredaran bruto di Uni Eropa paling sedikit 50juta Euro.
Aturan ambang batas ini secara de facto menunjukkan adanya praktik diskriminasi terhadap perusahaan digital asal Amerika Serikat seperti Google, Facebook, Amazon, eBay, AirBnB dan perusahaan digital sukses Amerika Serikat lainnya. Hal ini dapat dipahami karena hanya perusahaan-perusahaan digital tersebut yang akan memenuhi kriteria SEP (Hufbauer dan Lu, 2018).
Reaksi Amerika terhadap Penerapan DST
Terkait isu diskriminasi, US Trade Representative telah melakukan penyelidikan terhadap DST yang diterapkan oleh Prancis. Dalam Section 301 Investigation – Report on France’s Digital Service Tax tertanggal 2 Desember 2019 disebutkan terdapat bukti bahwa penerapan DST di Prancis ditujukan untuk perusahaan raksasa digital asal Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan digital asal Amerika Serikat dengan DST tersebut unggul dalam pemberian jasa internet advertising dan digital interface. Sementara itu, perusahaan digital asal Prancis dikecualikan dari pemajakan DST.
Sebagai respon atas kasus di atas, US Trade Representative mengusulkan kepada parlemen untuk menaikkan tarif bea masuk sampai dengan 100% terhadap barang mewah impor asal Prancis seperti anggur, alat kosmetik, dan tas (Parker dalam Kim, 2020). Saat ini kedua negara sepakat untuk tidak membawa masalah ini ke WTO sambil menunggu tercapainya kesepakatan global.
Sekali pun ketentuan DST tidak dimaknai sebagai bentuk diskriminasi, otoritas Amerika Serikat tetap akan memandang negatif hal tersebut mengingat saat ini tengah terjadi ketegangan hubungan dagang antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat (Bravo dalam Argyropoulou, 2019). Penerapan DST oleh beberapa negara Uni Eropa dikuatirkan dapat mengakibatkan fragmentasi pada sistem pasar tunggal Uni Eropa serta mendistorsi persaingan usaha (Argyropoulou, 2019).
Refleksi
Perppu 1/2020 tinggal selangkah lagi mendapat persetujuan dari DPR dan selanjutnya PTE akan segera diberlakukan di Indonesia. Penerapan suatu ketentuan perpajakan termasuk PTE oleh suatu negara merupakan hak kedaulatan negara tersebut. Namun, setidaknya terdapat dua hal yang patut dipertimbangkan.
Pertama, bagaimana desain penerapan PTE sehingga tidak melanggar prinsip national treatment. PTE hendaknya perlu diterapkan terhadap semua model bisnis digital sehingga isu ring-fencing dalam praktik pemajakan digital di Indonesia dapat dihindari. Tantangan utamanya adalah justru menentukan ambang batas SEP, yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Sengketa yang terjadi antara Prancis dan Amerika Serikat hendaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan ketentuan ambang batas SEP.
Kedua, jikapun PTE tidak dimaknai sebagai diskriminasi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kesiapan Indonesia menanggapi potensi tekanan trade war dari negara yang terkena imbas ketentuan PTE Indonesia. Inilah pekerjaan rumah yang harus dipersiapkan.