TRANSAKSI lintas negara telah menjadi praktik bisnis umum di era globalisasi, tidak terkecuali dalam konteks supply chain perusahaan. Fenomena sistem operasional perusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara ini kemudian memunculkan adanya transaksi jasa intra-grup antara entitas grup usaha.
Dalam banyak kasus, biaya jasa tersebut tidak dapat dibebankan secara langsung kepada satu entitas grup usaha saja. Hal ini dikarenakan entitas grup usaha lainnya juga menjadi penerima manfaat jasa intra-grup tersebut.
OECD sendiri telah memberikan beberapa pedoman terkait cara menangani skema pembebanan biaya yang bersifat tidak langsung seperti dalam konteks biaya transaksi jasa intra-grup ini. Namun demikian, OECD belum memberikan rincian lebih lanjut mengenai pedoman tersebut.
Tak pelak, transaksi jasa intra-grup pada perusahaan multinasional masih sering menjadi isu dalam pemeriksaan transfer pricing oleh otoritas pajak hingga saat ini (Buono, 2020). Lantas, bagaimana upaya yang dapat dilakukan perusahaan untuk meminimalkan potensi terjadinya sengketa atas transaksi bersangkutan?
Analisis Transfer Pricing atas Jasa Intra-Grup
DI Indonesia, sebagaimana diatur dalam SE-50/PJ/2013, jasa intra-grup didefinisikan sebagai aktivitas yang diberikan oleh suatu pihak dalam suatu grup usaha yang memberikan manfaat bagi satu atau lebih dari satu anggota lain dalam grup usahanya.
Jenis transaksi jasa ini dapat berupa jasa manajemen, jasa administrasi, jasa teknis, jasa pendukung, jasa pembelian, jasa pemasaran, jasa distribusi, serta jasa komersial lainnya yang diberikan berkaitan dengan sifat bisnis grup tersebut.
Dalam menilai apakah suatu transaksi jasa intra-grup dapat dikatakan wajar atau tidak, terdapat dua aspek mendasar yang dapat menjadi acuan saat menetapkan harga jasa intra-grup (Buono, 2020). Aspek pertama berkaitan dengan pembuktian atas keberadaan (eksistensi) dan manfaat jasa yang diberikan kepada pihak terkait.
Apabila aspek pertama telah terverifikasi, aspek kedua yang perlu ditentukan yaitu kewajaran nilai remunerasi jasa tersebut. Ketentuan SE-50/PJ/2013 dapat dikatakan telah mengakomodasi kedua aspek ini.
Isu utama dalam pemeriksaan pajak di Indonesia sendiri lebih terkait pada aspek pertama, yaitu pengujian eksistensi dan manfaat dari transaksi jasa intra-grup. Berkaitan dengan pemeriksaan jasa intra-grup tersebut, terdapat konflik antara penggunaan metode tidak langsung serta permintaan bukti berdasarkan single-service basis dari otoritas pajak (Linnebaum, 2012).
Peran Auditor Independen
OPINI pihak ketiga dapat menjadi salah satu sumber bukti dan informasi atas transaksi transfer pricing (UN TP Manual, 2017). Salah satunya ialah melalui external assurance oleh pihak yang independen dan memiliki kapabilitas. Hal ini serupa dengan opini audit atas suatu laporan keuangan guna menyatakan bahwa pemeriksaan telah dilakukan sesuai dengan norma yang disertai dengan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan bersangkutan (Arummalinda, 2019).
Auditor independen kemudian memiliki peran krusial berkaitan dengan pemeriksaan suatu transaksi. Hal ini tidak terlepas dari upaya verifikasi fakta atas kewajaran transaksi jasa intra-grup perusahaan dalam suatu laporan keuangan yang akhirnya juga berdampak pada konsekuensi pajak perusahaan.
Terdapat tiga aspek yang setidaknya patut menjadi perhatian. Pertama, estimasi atas besarnya biaya pemberian jasa intra-grup yang diberikan secara konsisten kepada semua entitas yang menerima manfaat jasa. Hal ini juga mencakup pengujian atas autentisitas biaya yang dikeluarkan oleh penyedia jasa.
Kedua, proses verifikasi fakta ini harus menyesuaikan dengan prosedur pemeriksaan yang telah ditentukan dan disepakati sebelumnya. Ketiga, penilaian atas skema alokasi biaya telah mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam OECD Guidelines yang diterima secara global.
Setelah melakukan hal-hal tersebut, auditor independen dapat mengeluarkan bukti keabsahan pemeriksaan berbasis opini independen berupa sertifikat audit. Sertifikat ini sendiri semestinya juga dapat diterima oleh otoritas pajak di negara penerima maupun penyedia jasa.
Sejalan dengan penjabaran di atas, Paragraf B.2.8. UN TP Manual tahun 2013 juga menyatakan sebagai berikut.
“Further, a certificate from an independent accountant of the service providing entity may be obtained certifying the method of allocation of costs and authenticity of the cost apportioned to each entity.”
Mencermati pernyataan di atas, hal ini menunjukkan bahwa metode alokasi biaya dan autentisitas biaya yang dialokasikan kepada masing-masing pihak berkaitan dengan jasa yang diberikan dalam suatu perusahaan juga dapat berbasis verifikasi data atas temuan faktual berupa sertifikat dari auditor independen. Dengan demikian, kewajaran atas transaksi intra-grup perusahaan bersangkutan dapat menjadi suatu fakta yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan otoritas pajak.
Idealnya, pihak yang menerbitkan sertifikat ialah Certified Public Accountant yang berbasis internasional (Mehta, 2005). Dalam konteks Indonesia, sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak (DJP) dapat meminta keterangan atau bukti dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak. Salah satunya yaitu akuntan publik untuk dapat memberikan keterangan yang diperlukan oleh DJP.
Agreed-Upon Procedure
SALAH satu instrumen yang dapat digunakan untuk memeriksa kewajaran transaksi berbasis data faktual oleh pihak eksternal adalah Agreed-Upon Procedure (AUP). Hal ini diatur dalam International Standard on Related Services 4400 (ISRS) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC).
Sebagaimana dijelaskan dalam ISRS 4400, laporan AUP setidaknya harus mencakup enam komponen utama. Pertama, identifikasi atas informasi finansial dan nonfinansial yang akan dibahas. Kedua, tujuan AUP bersangkutan. Ketiga, prosedur yang digunakan. Keempat, temuan faktual. Kelima, transaksi spesifik yang diperiksa. Keenam, pernyataan bahwa AUP telah disusun sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh ISRS.
Lebih lanjut, dalam proses penyusunan AUP, pihak auditor juga harus mematuhi Kode Etik profesi yang dikeluarkan oleh International Ethics Standards Board for Accountants (IESBA). Dengan adanya standardisasi, baik dalam segi konten laporan maupun sisi profesionalisme, laporan AUP setidaknya dapat menerangkan kondisi sebenarnya atas metode alokasi biaya dan autentisitas pembagian biaya-biaya dari masing-masing entitas yang terlibat dalam transaksi jasa intra-grup.
Dalam konteks di Indonesia, menurut pendapat Penulis dimungkinkan untuk meminta, misal akuntan publik, untuk melakukan AUP yang menerangkan kewajaran nilai remunerasi jasa intra-grup.
Dengan demikian, Laporan AUP dari auditor independen dapat menjadi pelengkap dari dokumentasi transfer pricing atas transaksi jasa intra-grup perusahaan. Diharapkan dengan adanya dokumentasi yang semakin memadai tersebut, potensi sengketa di kemudian hari dapat diminimalisir dikarenakan adanya upaya penurunan risiko yang telah diinisiasi oleh wajib pajak itu sendiri. (Disclaimer)