ANALISIS PAJAK INTERNASIONAL

Perlukah Ketentuan Tax Sparing?

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 18 April 2020 | 17.09 WIB
ddtc-loaderPerlukah Ketentuan Tax Sparing?
Anggi P.I. Tambunan
DDTC Consulting

SETIAP negara, baik negara negara berkembang maupun negara maju, akan berusaha keras untuk mendapatkan investasi asing masuk ke negaranya (Meireles, 2009). Salah satu upaya untuk mendatangkan minat investor, yaitu dengan menyediakan insentif pajak. Insentif pajak ini tentunya akan menguntungkan bagi investor, tetapi secara praktik hal ini tidak akan terjadi ketika negara asal investor, yaitu negara domisili, menggunakan metode kredit pajak.

Keberadaan metode kredit pajak menyisakan suatu dilema. Di satu sisi, metode tersebut sangat penting guna menghindari investor untuk dikenakan pajak berganda, tetapi di sisi lain, kredit pajak akan menghilangkan penghematan insentif pajak yang sudah disediakan oleh negara sumber. Situai ini terjadi, mengingat penghasilan yang tidak dipajaki oleh negara sumber karena adanya insentif pajak, kemudian akan dipajaki oleh negara domisili.

Ferreira and Marinho (2013) mengungkapkan tiga konsekuensi atas penerapan kredit pajak dari negara domisili. Pertama, investor akan memiliki beban pajak yang sama seolah tidak terdapat insentif yang disediakan baginya. Kedua, justru negara domisili yang menikmati manfaat atas insentif pajak tersebut dengan mendapatkan basis pemajakan yang lebih besar dari seharusnya.

Ketiga, karena hanya negara domisili yang menerima manfaat, pada akhirnya negara sumber akan menghentikan pemberian insentif pajaknya. Salah satu cara untuk mencegah seluruh kondisi ini adalah pemberlakuan ketentuan tax sparing.

Mekanisme tax sparing akan membuat penghasilan yang diperoleh investor seolah telah dipajaki oleh negara sumber, misalkan tarif pajak yang berlaku adalah 12%. Ketika penghasilan tersebut dibawa kembali ke negara domisili dan akan dikenakan pajak, misalkan 20% maka negara domisili akan memberi kredit sebesar 12%. Artinya, negara tersebut hanya berhak mengenakan pajak sebesar 8%. Dengan demikian, tarif pajak efektif yang berlaku bagi investor hanya sebesar 8% dari yang seharusnya sebesar 20%.

Dengan adanya mekanisme tax sparing akan benar-benar memastikan bahwa negara domisili tidak akan mendapatkan keuntungan berupa pemajakan yang lebih besar akibat disediakannya insentif oleh negara sumber, melainkan investorlah yang benar-benar mendapatkan manfaat tersebut (Schoueri, 2013).

Namun, ketentuan tax sparing ini sangat ditentang keberadaannya oleh Amerika Serikat. Hal ini pun diamini oleh negara-negara yang tergabung dalam OECD. Khusus untuk tax sparing ini, OECD menerbitkan laporan tersendiri yang berjudul “Tax Sparing: A Reconsideration” (OECD, 1998). Laporan ini memiliki beberapa simpulan yang antara lain sebagai berikut (Meireles, 2009).

Pertama, pemberian insentif pajak, termasuk tax sparing, bukan merupakan faktor utama untuk memengaruhi keputusan alokasi investasi. Kedua, tax sparing rentan digunakan untuk perencanaan pajak yang agresif.

Alasan dan simpulan yang disampaikan OECD dalam laporan di atas ditentang oleh para ahli pajak. Salah satunya adalah Schoueri, yang memberikan sanggahan dengan terlebih dahulu mempertanyakan pihak manakah yang lebih tepat untuk menilai tax sparing ini? Apakah negara OECD yang sebagian besar anggotanya merupakan negara asal investasi,

Atau, negara yang tergabung dalam United Nation (UN), yang negara-negara anggotanya lebih banyak didominasi sebagai negara tujuan investasi (Schoueri, 2013). Perlu disampaikan pula bahwa pandangan UN tidak sejalalan dengan OECD, di mana UN mendukung keberadaan tax sparing (UN Model Convention, 2017).

Lebih lanjut, Schoueri juga menyoroti bahwa praktik perencanaan pajak berpotensi untuk dilakukan melalui seluruh ketentuan yang ada di dalam tax treaty. Namun, hal ini tidak berarti bahwa seluruh ketentuan tersebut harus ditiadakan, tidak terkecuali terhadap ketentuan tax sparing (Schoueri, 2013). Seharusnya, yang dilakukan untuk menghilangkan praktik perencanaan pajak adalah dengan mengadopsi ketentuan antipenghindaran pajak.

Terkait efektifitas tax sparing dalam mendatangkan investasi, Schoueri belum melihat OECD telah melakukan penelitian empiris untuk hal ini. Sebaliknya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli pajak, kesimpulan yang diperoleh berbanding terbalik dengan kesimpulan OECD.

Azemar dan Dharmapala mengatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap tax treaties terhadap 23 negara anggota OECD dan 113 negara berkembang selama periode 2002 sampai dengan 2012, ditemukan bahwa ketentuan tax sparing terhubung erat dengan kenaikan 97% lebih tinggi penempatan modal investasi (Azemar dan Dharmapala, 2018).

Hasil yang sama juga diperoleh beberapa penelitian para ahli yang lain. Sebagaimana dikutip dari Schmatz, Hines (2000), Azémar, Desbordes dan Mucchielli (2007), dan Azémar dan Delios (2008) membuktikan bahwa mekanisme tax sparing berpengaruh positif terhadap investasi dari Jepang ke negara-negara berkembang (Schmatz, 2019). Lebih lanjut, seluruh ahli tersebut juga berkesimpulan bahwa tax sparing merupakan faktor yang penting untuk menarik investasi asing (Schmatz, 2019).

Banyak negara di dunia yang telah menerapkan tax sparing di dalam ketentuan tax treaty-nya. Namun demikian, terdapat beberapa negara yang memiliki pengalaman yang menarik untuk diulas, antara lain China, Selandia Baru, dan Afrika Selatan.

China memiliki pandangan yang berbeda dengan OECD, di mana ketentuan tax sparing sangat dibutuhkan khususnya di dalam treaty dengan negara tujuan investasi dari perusahaan China. Ketentuan tax sparing akan membuat perusahaan tersebut benar-benar memperoleh manfaat dari insentif pajak yang disediakan negara sumber, tentu ini akan mendorong daya saing korporasi tersebut di pasar internasional.

Dari 54 tax treaty yang dimiliki China, 16 di antaranya memiliki ketentuan tax sparing dan terdapat 2 tax treaty yang sangat unik, yaitu dengan Singapura dan Uni Emirat Arab, Kedua tax treaty ini memberikan China hak untuk menyediakan tax sparing secara sepihak atau secara unilateral.

Jingxian (2019) menyarankan dalam kondisi investasi dua arah dengan negara mitra tax treaty, sangat diperlukan ketentuan tax sparing untuk memastikan bahwa perusahaan yang berinvestasi benar-benar menikmati insentif pajak yang diberikan oleh negara sumber.

Sementara itu, Selandia Baru memiliki posisinya sendiri. Mempertimbangkan keberadaan laporan OECD terkait tax sparing yang dapat digunakan untuk praktik penghindaran pajak, Selandia Baru memutuskan untuk menambahkan ketentuan antipenghindaran pajak yang bersifat spesifik di dalam setiap tax treaty-nya yang memuat ketentuan tax sparing (Toaze, 2001).

Afrika Selatan memiliki pengalaman yang variatif terkait ketentuan tax sparing di dalam tax treaty yang dimilikinya. Tax treaty antara Afrika Selatan dengan Irlandia dan Israel dapat dijadikan contoh penerapan tax sparing yang merupakan best practice yang sejalan dengan standar UN ataupun OECD, di mana kedua tax treaty ini memiliki pembatasan atas ruang lingkup dan jangka waktu (sunset clause) dari tax sparing (Oguttu, 2010).

Sebaliknya, tax treaty Afrika Selatan dengan Mauritius merupakan contoh tax treaty yang kontras. Selain memiliki ruang lingkup yang lebih besar dan tidak terdapat pembatasan waktu berlaku, tax treaty ini juga memuat tax sparing yang hanya berlaku sepihak kepada Mauritius. Oleh karena itu, Afrika Selatan berencana untuk mengubah ketentuan tax sparing dengan Mauritius agar sejalan dengan ketentuan yang telah ada di dalam tax treaty dengan Irlandia dan Israel (Oguttu, 2010).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan ketentuan tax sparing sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa insentif pajak yang disediakan negara sumber benar-benar dinikmati oleh investor yang kemudian dapat mendorong agar investor memiliki daya saing lebih.

Lebih lanjut, posisi penolakan yang dilakukan oleh OECD tampak kurang meyakinkan, mengingat banyak para ahli dan peneliti yang membuktikan sebaliknya. Oleh karena itu, keberadaan tax sparing layak untuk didiskusikan penggunaannya dan disesuaikan dengan kepentingan dari masing-masing negara. Bagi negara berkembang, mengikuti jejak China yang memperoleh tax sparing yang berlaku secara unilateral tentunya dapat dianggap sebagai keuntungan lebih.

Untuk menghindari adanya penghindaran pajak melalui ketentuan tax sparing, setiap negara dapat memasukan ketentuan antipenghindaran pajak sebagaimana yang dilakukan oleh Selandia Baru. Atau, melimitasi ruang lingkup dan batas waktu berlakunya tax sparing sebagaimana yang dilakukan oleh Afrika Selatan. OECD maupun UN juga telah menyediakan pedoman best practice yang dapat diadopsi di dalam ketentuan tax sparing suatu negara. (Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.